PROGRESIF EDITORIAL – Fenomena micro drama, atau drama vertikal, telah menjadi tren yang semakin populer dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di China, dan kini mulai merambah pasar internasional termasuk Indonesia. Fenomena ini mencerminkan perubahan dalam pola konsumsi konten, di mana penonton mencari hiburan singkat dan cepat yang dapat dinikmati melalui perangkat mobile. Drama vertikal dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan format yang unik dan ciri khas tersendiri.
Karakteristik Utama
- Format Vertikal: Drama ini didesain khusus untuk ditonton di layar ponsel dalam posisi vertikal (9:16).
- Durasi Singkat: Setiap episode berdurasi sangat pendek, biasanya antara 1-5 menit.
- Cerita Padat: Alur cerita dibuat sangat padat dengan plot twist dan cliffhanger di setiap akhir episode.
- Target Penonton: Sebagian besar penonton adalah perempuan, dengan tema yang sering berkisar pada pemberdayaan perempuan dan romansa.
Salah satu karakteristik utama dari drama vertikal adalah formatnya yang disesuaikan untuk tampilan di layar ponsel dalam posisi vertikal (9:16). Selain itu, setiap episode memiliki durasi yang sangat pendek, berkisar antara 1 hingga 5 menit, memungkinkan penonton untuk mengakses cerita dalam waktu singkat. Alur cerita dalam drama ini dibuat padat, sering kali menyajikan plot twist yang membuat penonton penasaran dan cliffhanger di akhir setiap episodenya. Tema yang diangkat biasanya seputar pemberdayaan perempuan dan romansa, dengan mayoritas penonton adalah kalangan perempuan.
Popularitas drama vertikal di China telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023, nilai pasar drama ini diperkirakan mencapai 38 miliar yuan (sekitar $5,3 miliar) dan diproyeksikan akan melebihi 50 miliar yuan pada tahun 2024. Pertumbuhan ini mencerminkan permintaan yang tinggi terhadap konten digital yang mudah diakses dan singkat, serta perubahan preferensi penonton dalam mengonsumsi hiburan.
Model bisnis dan pemasaran yang diterapkan pada drama vertikal juga cukup menarik serta berbeda dari bentuk “production house” yang umumnya dikenal. Salah satunya adalah model freemium, di mana beberapa episode awal dapat diakses secara gratis, namun untuk melanjutkan, penonton harus membayar. Produksi drama ini juga dilakukan dengan biaya rendah, menggunakan set sederhana, kostum minimalis, dan aktor yang belum terkenal. Distribusi dilakukan secara digital, terutama melalui platform dan aplikasi khusus, sehingga mudah dijangkau oleh penonton.
Namun, fenomena ini tidak lepas dari tantangan dan kritik. Beberapa kritikus menganggap bahwa kualitas kontennya cenderung murahan dan diproduksi secara asal-asalan. Selain itu, tema yang sering kali repetitif membuat penonton jangka panjang kehilangan minat. Regulasi yang ketat di China juga menjadi kendala, di mana ribuan drama ilegal telah dihapus oleh pemerintah untuk mengontrol konten yang beredar.
Seiring dengan popularitas yang meningkat, drama vertikal mulai merambah pasar internasional. Pasar Asia Tenggara dan Timur Tengah menjadi target utama, sementara di Amerika Serikat, aplikasi seperti ReelShort mulai mendapatkan popularitas dengan menawarkan mini soap opera yang dapat ditonton dalam waktu singkat.
Masa depan drama vertikal terlihat menjanjikan. Meski masih dalam tahap awal, terutama di luar Asia, banyak perusahaan mulai beradaptasi dengan format singkat ini. Mereka mengubah struktur cerita agar sesuai dengan durasi pendek dan format vertikal. Fenomena ini menggambarkan bagaimana konten hiburan semakin berkembang mengikuti perubahan gaya hidup digital yang serba cepat.