Pada sekitar 1960-an, KH. Utsman mendirikan Pesantren Dar al-Ubudiyyah wa Raudlah al-Muta’allimin di Jatipurwo, sebuah desa dekat makam Sunan Ampel. Pada awalnya, santri berasal dari warga sekitar. KH. Utsman pertama kali mengajarkan Sulam as-Safinah an-Najah karya asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami.
Sebagai keturunan asy-Syaikh as-Sayyid Abd al-Qadir al-Jilani, KH. Utsman mencetuskan tradisi manaqib (membaca biografi orang saleh) leluhurnya. Hal ini membuat namanya semakin dikenal umat di seluruh Indonesia, bahkan mancanegara. Hingga kini, tradisi tersebut masih lestari dan dipimpin oleh cucu beliau, KH. Zainul Muttaqin al-Ishaqi.
KH. Utsman menikah dengan Hj. Siti Qomariyah dan dikaruniai 9 anak. Setelah itu, ia menikah dengan Hj. Afifah dan dikaruniai 4 anak. Dari 13 anaknya, yang terkenal adalah KH. Fathul Arifin al-Ishaqi, KH. Minanurrohman al-Ishaqi—keduanya mengasuh pesantren peninggalan ayahnya—, serta KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi, pendiri Majelis al-Khidmah dan Pesantren al-Fithrah. Salah satu putrinya, Hj. Zakiyah Miskiyah, dipinang oleh KH. Imam Yahya Mahrus, pengasuh pesantren Lirboyo, Kediri.
KH. Utsman wafat di RS Islam Surabaya bertepatan dengan adzan Subuh pada Januari 1985. Jenazahnya dimakamkan di area Pesantren Dar al-Ubudiyyah wa Raudlah al-Muta’allimin. Setelah wafatnya, jabatan al-Mursyid ath-Thariqah al-Qadiriyah wa an-Naqsyabandiyah diserahkan pada putranya, KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi.
KH. Utsman mengajarkan kita arti dari kegigihan dalam mendulang ilmu serta kesabaran dan ketekunan dalam menghadapi setiap lapisan umat. KH. Utsman adalah penyejuk hati dan jiwa umat Islam di Indonesia, khususnya di tengah hingar-bingar pesisir Surabaya yang keras.
Demikian kisah KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi. Semoga dapat menjadi ilmu yang berkah dan manfaat. Tak lupa, semoga keberkahan dari para ulama, khususnya KH. Utsman, selalu menyertai hidup kita.
Amin ya robbal alamin.