“Ya, Pak Kiai. Begini, Gus Miek itu di atas saya.” jawab KH. Abdul Hamid.
“Ah, masa?.” tanya KH. Achmad Shiddiq.
“Saya itu tugasnya sowan ke kiai. Kalau Gus Miek itu tugasnya kepada bramacorah, para pemabuk, penjudi, perempuan nakal, dan orang-orang awam. Untuk tugas seperti itu, saya tidak sanggup.” jawab KH. Abdul Hamid.
Belum puas dengan jawaban keponakannya, KH. Achmad Shiddiq lantas bertanya ke KH. Djazuli Utsman yang tak lain adalah ayah Gus Miek. Namun, KH. Djazuli Utsman hanya menjawab singkat.
“Begini, Kiai Achmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana?. Dulu, Mbah Dalhar juga menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab KH. Djazuli Utsman.
KH. Achmad Shiddiq yang masih belum sepenuhnya mengerti Gus Miek akhirnya kerap menyerangnya sebagai seorang ulama yang tak sesuai dengan syariat. Bahkan, ia pernah berdebat dengan adik iparnya, KH. Amar Mujib.
“Amar, jawablah dengan jujur, sejujur-jujurnya, dan jangan ada yang kau sembunyikan: benarkah Gus Miek itu bila menghadiri undangan perkawinan, selalu langsung menuju tempat kaum perempuan dan mengambil tempat berbaur bersama mereka?.” tanya KH. Achmad Shiddiq.
“Nggih.” jawab KH. Amar Mujib.
“Bukankah itu tidak pantas dilakukan oleh seorang kiai?. Lalu, mengapa kau masih mengikutinya dan memujanya?.” Tanya KH. Achmad Shiddiq.
“Semua pendapat Mas Achmad benar. Hanya saja, Gus Miek pernah berkata kepada saya bahwa bila berdakwah di sebuah keluarga, kalau tidak bisa masuk dari pintu depan maka berusahalah masuk dari pintu belakang.” jawab KH. Amar Mujib
“Kalau tidak bisa kepada suaminya maka berdakwahlah kepada istrinya. Sehingga, bila suaminya lalai menjalankan shalat karena malas atau kesibukan kerja, istri bisa mengingatkannya. Sebab yang paling dekat dengan suaminya dalam ibadah dan rumah tangga adalah istri,” lanjutnya.