PROGRESIF EDITORIAL – Dunia mengakui Perancis sebagai negara ‘revolusioner’ terutama pada aspek demokrasi dan kemanusiaan. Sehingga tidak heran bila Perancis juga menjadi garda terdepan dalam meyoal penerapan Hak Asasi Manusia, salah satunya dengan memisahkan ruang personal dan ruang kebijakan negara. Tentu ini tidak jauh dari Konsep “Negara Sekuler” yang di gagas oleh Ferdinand Buisson, Ia seorang tokoh terkemuka asal Eiffel itu. Paham sekular laisitas atau laïcité mendefinisikan , dimana urusan pemerintah tidak bisa dicampur adukan dengan urusan privat, salah satunya adalah agama.
Paham Sekularitas ini kemudian yang menjadi alasan utama mengapa Atlit Perancis dilarang mengenakan hijab selama perhelatan Olimpiade 2024. Pada bulan September 2023 lalu, Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera, menyatakan bahwa pemerintah Perancis menentang segala bentuk tampilan simbol-simbol agama selama acara olahraga, hijab masuk dalam kategori simbol agama ini. “Tim Prancis seluruhnya tidak akan mengenakan jilbab, yang berarti larangan terhadap segala jenis penyebaran agama. ini untuk menunjukkan komitmen pada netralitas mutlak dalam layanan publik,” Jelasnya kepada televisi France 3.
Kebijakan ini mengundang banyak perdebatan. Hingga IOC secara resmi mengeluarkan sikap resminya yang menyatakan “mendukung non-diskriminasi sebagai salah satu pilar utama Gerakan Olimpiade, yang tercermin dalam Piagam Olimpiade, Prinsip Dasar 6:
“ Hak-hak dan kebebasan yang diuraikan dalam Piagam Olimpiade akan dijamin tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal negara atau status sosial, kekayaan, keturunan, atau status lainnya.”
Akan tetapi, terlepas dari sikap resmi ini, IOC juga telah menolak untuk menekan pihak berwenang Prancis untuk mencabut larangan mereka.
Larangan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kebebasan individu untuk mempraktikkan agama secara terbuka, sesuatu yang diklaim oleh masyarakat sekuler dan memproklamirkan diri sebagai masyarakat demokratis seperti Prancis. “Liberté, égalité, fraternité” tampaknya hanya kata-kata kosong yang tidak berlaku untuk semua warga negara.
Pelarangan jilbab dapat berdampak pada kurangnya partisipasi atlet dalam olahraga, yang berpotensi membatasi kesempatan bagi wanita Muslim yang memilih untuk mengenakannya. Kurangnya keragaman dan representasi ini pasti akan memengaruhi cara orang tua Muslim memandang pentingnya menjaga nilai – nilai mereka dan bagaimana hal itu dapat menghambat masa depan anak-anak mereka.
Bagaimana sebuah keluarga Muslim dapat mewariskan pandangan dan tradisi agama mereka kepada anak-anak mereka dengan mengetahui bahwa praktik-praktik seperti itu akan berpotensi membatasi kemampuan dan pencapaian mereka di ruang publik?
Pada intinya, hal ini justru akan berbenturan antara prinsip: hak atas kebebasan beragama dan ekspresi budaya versus prinsip-prinsip sekularisme dan netralitas dalam kehidupan publik.
Pelarangan simbol-simbol agama ini, terutama dalam olahraga, mencederai identitas agama dan menekan ekspresi budaya, serta melanggengkan pengucilan dan ketidaksetaraan. Para atlet berhak mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi sekaligus menghormati keyakinan agama mereka, asalkan tidak mengorbankan fair play atau aspek keamanan. Namun, alih-alih merangkul keragaman masyarakat, banyak orang di Prancis merasa tertekan untuk menyesuaikan diri, memaksa pilihan sulit antara asimilasi dan mempertahankan keyakinan pribadi, yang berpotensi mengisolasi mereka terutama bagi yang lebih memilih opsi kedua.