Home Dawuh Kyai Mbah Gunung, Menelisik Perjalanan Hidup Seorang Wali Besar Di Sidoarjo!

Mbah Gunung, Menelisik Perjalanan Hidup Seorang Wali Besar Di Sidoarjo!

by Arundaya Maulana
Mbah Gunung/freepik

PROGRESIF EDITORIAL – Sejarah Islam di Indonesia tidak terlepas dari peran para wali yang berdedikasi dalam menyebarkan ajaran tauhid dan membangun peradaban berbasis nilai-nilai Islam. Salah satu tokoh penting di Jawa Timur adalah Mbah Gunung, atau Raden Mas Bagus Batin Mas Tubagus Gunung. Ia adalah seorang aulia yang menjadi perintis dakwah di wilayah Sidoarjo, Jawa Timur, khususnya di daerah yang dulu dikenal sebagai Sitokare.

Mbah Gunung berasal dari keluarga yang memiliki garis keturunan mulia. Ia adalah putra dari Pangeran Muhammad Tohir dan saudara kandung dari Mbah Barnawi, dua nama yang juga memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam. Sejarah mencatat bahwa Mbah Gunung menikah dengan seorang putri dari salah satu pengasuh pondok pesantren di Sidosermo, Surabaya.

Setelah pernikahannya, Mbah Gunung menerima amanah dari ayahandanya untuk merintis dakwah di daerah yang saat itu masih berupa hutan belantara. Daerah itu kemudian dikenal sebagai Cemengkalang, yang berasal dari kata “cemeng” (gelap) dan “kalang” (tempat). Nama ini mencerminkan kondisi wilayah yang gelap akibat lebatnya hutan. Namun, melalui kerja kerasnya, Mbah Gunung berhasil mengubah daerah tersebut menjadi sebuah pemukiman sekaligus pusat pendidikan Islam.

Pondok Pesantren Pertama di Cemengkalang

Mbah Gunung mendirikan pondok pesantren pertama di Cemengkalang, yang menjadi pusat aktivitas dakwahnya. Di pesantren ini, ia mendidik banyak santri, termasuk tokoh-tokoh penting seperti Raden Mas Bagus Kariman, putra dari Adipati Suromenggolo.

Adipati Suromenggolo memberikan pesan tegas kepada putranya:

“Engkau tidak boleh kembali sebelum mendapat ilmu yang cukup dari Mbah Gunung.”

Pesan ini menggambarkan betapa besar wibawa dan keilmuan Mbah Gunung di mata masyarakat, bahkan di kalangan bangsawan sekalipun.

Sebagai seorang aulia, Mbah Gunung tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga membangun fondasi sosial dan spiritual masyarakat. Ia mengajarkan pentingnya ibadah, kejujuran, gotong royong, dan keberanian dalam menghadapi tantangan.

Metode dakwahnya yang ramah dan penuh hikmah membuat banyak orang tertarik pada ajaran Islam. Kehadirannya di Sitokare mengubah wajah wilayah tersebut menjadi pusat peradaban Islam yang dihormati hingga kini.

Related Posts

Leave a Comment

[elementor-template id="2865"]