PROGRESIF EDITORIAL – Sistem perpajakan dalam Islam merupakan pilar penting dalam ekonomi Islam, memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari sistem konvensional. Berbeda dengan sistem yang mungkin kita kenal, perpajakan Islam memiliki sifat temporer, hanya diberlakukan ketika kas negara (Baitul Mal) kekurangan dana, dan akan dihentikan ketika kebutuhan telah terpenuhi. Hal ini mencerminkan prinsip fleksibilitas dan responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut, dana yang terkumpul haruslah digunakan secara eksklusif untuk membiayai kebutuhan yang menjadi kewajiban bagi umat Islam, dengan batasan yang jelas untuk memastikan akuntabilitas.
Sebagaimana Hasil Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU) 2012 yang dilansir pada laman NU Online menyatakan:
“Pada dasarnya, tidak ada kewajiban pembayaran pajak dalam syariat Islam. Namun, pembayaran pajak boleh diberlakukan bagi rakyat yang mampu demi kemaslahatan umum, apabila sumber-sumber dana nonpajak yang telah dikelola dengan benar tidak mencukupi untuk kebutuhan negara.” (PBNU, Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, [Jakarta, LTN PBNU: 2012], halaman 52-53)
Pandangan ini sejalan dengan pendapat Imam Al-Ghazali yang dikutip oleh Imam An-Nawawi:
مَالُ المَصَالِحِ لَا يَجُوزُ صَرْفُهُ إِلَّا لِمَنْ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتَاجٌ عَاجِزٌ
Artinya: “Harta untuk kepentingan umum tidak boleh digunakan kecuali untuk orang yang memberi kemaslahatan umum atau untuk orang yang sangat membutuhkan.” (Al-Majmu’, [Beirut, Darul Minhaj: 2007], jilid IX, halaman 349).
Salah satu aspek krusial adalah pemahaman tentang jenis-jenis pajak dalam Islam. Zakat, sebagai rukun Islam, menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat. Selain itu, terdapat Jizyah, pajak yang dikenakan pada non-Muslim sebagai imbalan atas perlindungan dan keamanan yang diberikan oleh negara Islam. Kharaj, pajak atas tanah, dikenakan tanpa memandang agama atau status pemilik, dengan variasi seperti Kharaj Sulhiyyah (berdasarkan perjanjian) dan Kharaj Unwah (berdasarkan penaklukan). Terakhir, Usyr merupakan bea cukai yang dikenakan pada aktivitas perdagangan, dengan batasan minimal nilai barang yang dikenakan pajak.
Prinsip-prinsip penerimaan negara dalam ekonomi Islam menekankan keadilan dan keberkahan. Setiap sumber pendapatan dan pemungutannya harus memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Pemisahan yang jelas antara sumber penerimaan dari Muslim dan non-Muslim memastikan keadilan dan transparansi. Sistem pemungutan pajak dan zakat haruslah dirancang sedemikian rupa sehingga beban utama dipikul oleh golongan kaya yang memiliki kelebihan, sementara kemaslahatan umum menjadi prioritas utama.
Konsep hukum pajak dalam Islam memiliki landasan yang kokoh dalam norma-norma hukum yang berlaku. Pajak dipandang sebagai iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa untuk mendukung kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Prinsip keadilan menjadi landasan utama dalam pengenaan pajak, memastikan proporsionalitas sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing individu. Lebih lanjut, otoritas Islam wajib memberikan penjelasan yang jelas kepada masyarakat mengenai penggunaan dana pajak untuk kepentingan bersama.
Perbedaan mendasar antara zakat dan pajak (dharibah) terletak pada sifatnya. Pajak dapat dihapuskan ketika Baitul Mal telah terisi kembali, sementara zakat tetap menjadi kewajiban yang berkesinambungan. Penggunaan pajak terbatas pada pembiayaan yang menjadi kewajiban bagi kaum Muslim, berbeda dengan pajak konvensional yang ditujukan untuk seluruh warga tanpa memandang agama. Pajak hanya diambil dari kaum Muslim yang kaya, sementara teori pajak konvensional tidak membedakan agama dengan alasan kesetaraan.
Keadilan pajak dalam keuangan Islam tercermin dalam beberapa prinsip penting. Tidak ada pengenaan zakat ganda, mencegah pemaksaan bagi pemilik harta. Besaran zakat dan pajak harus sebanding dengan upaya yang dikeluarkan, mencerminkan prinsip keadilan. Kondisi individu dalam pembayaran pajak dan zakat harus diperhatikan, mempertimbangkan pendapatan, beban keluarga, dan hutang-hutang, menunjukkan rasa empati dan kebijaksanaan.
Pada masa Rasulullah SAW, pengumpulan zakat dan pajak dilakukan dengan teratur dan terorganisir. Rasulullah menunjuk petugas khusus yang disebut amil zakat untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya di berbagai wilayah. Amil zakat diberi wewenang untuk mengumpulkan zakat dari berbagai jenis kekayaan dan segera mendistribusikannya kepada mereka yang berhak.
Rasulullah SAW juga menunjuk beberapa sahabat sebagai amil zakat di tingkat daerah dan membentuk tim khusus yang terdiri dari Katabah, Hasabah, Jubah, Khazanah, dan Qasamah. Selain zakat, Rasulullah SAW juga mengumpulkan pajak dari sumber lain seperti jizyah dan kharaj, dengan amil zakat yang sama bertugas mengumpulkannya. Baitul Mal didirikan sebagai pusat pengelolaan zakat dan pajak, menerima, menghitung, dan mendistribusikan dana kepada mustahiq.
Sistem perpajakan Islam, dengan prinsip-prinsipnya yang mendalam dan mekanisme pengumpulan yang terorganisir, menawarkan pendekatan unik dalam mencapai keadilan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Dengan fokus pada keadilan, akuntabilitas, dan kemaslahatan umum, sistem ini berpotensi menjadi landasan bagi masyarakat yang adil, makmur, dan berkeadilan.
Referensi:
1. https://banten.nu.or.id/keislaman/seperti-apa-pajak-dalam-pandangan-islam-KrmsC
2. https://nu.or.id/syariah/pajak-dalam-sejarah-islam-dari-kewajiban-terpilih-menjadi-tugas-bersama-fN8EJ
3. https://www.dompetdhuafa.org/zakat-pada-masa-nabi-muhammad/