Home Tokoh Sunan Bayat: Sebuah Hidayat Ilahi

Sunan Bayat: Sebuah Hidayat Ilahi

by Abdul Wahid Tamimi

PROGRESIF EDITORIAL – Klaten, sebuah kota kecil di pantai selatan Jawa. Kota paling strategis dan penting karena menjadi penghubung 3 titik utama di Jawa Tengah, yaitu Semarang, Solo, dan Jogjakarta. Di sana, hidup seorang ulama zuhud yang menjadi bukti mudahnya Allah membalikkan hati umatnya. Dialah Sunan Bayat.

Sunan Bayat lahir di Semarang dari keluarga Pandanaran, penguasa pertama Semarang. Ayahnya bernama as-Sayyid Abdul Qadir dan ibunya berasal dari keluarga Kesultanan Demak di Malaka. Semasa kecil, ia dinamai Raden Wahyu. Namun dalam berbagai sumber, nama lengkapnya adalah as-Sayyid Hasan an-Nawawi. Wallahu a’lam bishawab.

Mengenai silsilahnya, ada banyak versi. Sumber pertama menyebutkan bahwa as-Sayyid Abdul Qadir adalah putra Pangeran Tumapel bin Sunan Ampel. Sumber kedua menyebutkan bahwa as-Sayyid Abdul Qadir adalah keluarga Sunan Giri di Malaka. Sumber terakhir dari Kediri menyebutkan bahwa as-Sayyid Abdul Qadir adalah keturunan dari as-Sayyid Abdullah al-Mahdi al-Kamil bin Hasan al-Mutsanna.

Sebagai putra mahkota, Raden Wahyu dididik untuk menjadi penerus as-Sayyid Abdul Qadir. Setelah ayahnya wafat, Raden Wahyu menjabat sebagai Susuhunan Ageng Pandanaran II. Pada awalnya, ia menjabat dengan sangat adil dan agamis. Namun, ia berubah menjadi pribadi yang gila dunia.

Hal ini membuat Sunan Kalijaga berang. Ia lantas mencoba menyadarkan Raden Wahyu dengan membawa rerumputan dari Jabalkat—sebuah bukit di Klaten. Ketika Raden Wahyu menanamnya, tetiba rumput tersebut berubah menjadi emas. Namun, ketika akan diambil, emas tersebut langsung kembali menjadi tanah.

Karomah Sunan Kalijaga tersebut membuat Raden Wahyu segera bertobat. Ia lantas mengikuti Sunan Kalijaga ke Jabalkat. Sesampainya di Ungaran, mereka dihadang oleh 3 penyamun Sambangdalan. Raden Wahyu mengutuk mereka semua menjadi domba. Setelah bertobat, akhirnya penyamun tersebut mengikuti rombongan Sunan Kalijaga dan Raden Wahyu.

Sunan Kalijaga mengatakan bahwa ada 3 pihak yang bersalah. Istri Raden Wahyu bersalah karena membawa kotoran berupa harta benda. Raden Wahyu bersalah karena ‘menghalalkan’ tindakan istrinya. 3 penyamun bersalah karena mencuri harta. Akhirnya, tempat kejadian tersebut dinamai Salatiga.

Baca Juga:  Syekh Yusri: Nafsu Berasal dari Pertemuan Ruh dan Jasad

Sesampainya di Jabalkat, tepatnya di desa Bayat, Raden Wahyu mulai mempelajari ilmu agama serta membangun keluarga di sana. Setelah ilmunya cukup, ia meneruskan pesantren Sunan Kalijaga di sana. Karena hal tersebut, Raden Wahyu mulai dikenal sebagai Sunan Bayat.

Sunan Bayat memiliki beberapa orang anak, salah satunya Ki Ageng Gribig (Jatinom). Tak hanya itu, Sunan Bayat juga menurunkan banyak ulama besar. Sebut saja KH. Ahmad Djazuli Utsman (Ploso), KH. Muhammad Ma’ruf (Donglo), KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta), Panembahan Rama (Kajoran), Ki Ageng Hasan Besari III (Tegalsari), dan masih banyak lagi.

Sunan Bayat wafat di Jabalkat pada 1574 dan dimakamkan di sana. Kini, makamnya cukup banyak dikunjungi. Bahkan, namanya diabadikan oleh sebuah pesantren di Yogyakarta yang menjadi tuan rumah Milad ke-97/101 Nahdlatul Ulama. Semoga kita semua mendapat berkahnya. Aamiin ya rabbal ‘alamin.

Related Posts

Leave a Comment