Di abad 19, gelombang kedatangan para ulama atau pekerja dari Hadhramaut (Yaman), Jawa Tengah, Madura, dan Bawean di masa penjajahan semakin menegaskan keislaman Pasuruan. Mereka banyak mendirikan dan mengurus pesantren baik berskala kecil maupun besar.
Masjid Jami al-Anwar di tengah Kota Pasuruan menjadi saksi bisu kejayaan Islam di Pasuruan. Masjid yang didirikan Mbah Slagah, Mbah Surga-surgi, dan Raden Grudo tersebut hingga kini sangat ramai dikunjungi peziarah dari berbagai penjuru negeri. Terlebih setelah kedatangan 2 mutiara dari Lasem, yaitu KH. Achmad Qusyairi dan keponakan sekaligus menantunya, KH. Abdul Hamid.
KH. Achmad Qusyairi datang ke Pasuruan setelah menikahi Hj. Fatmah, putri KH. Yasin Rois, pengasuh Pesantren Salafiyah. Putrinya, Hj. Nafisah dinikahi KH. Abdul Hamid. Sehingga, ulama agung tersebut turut hijrah ke Pasuruan. Bahkan, ia lebih terkenal sebagai ulama Pasuruan daripada ulama Lasem.
Kini, Pasuruan adalah kota legendaris rujukan para pencari ilmu agama dari seluruh penjuru negeri. Bahkan, setiap mendengar nama Pasuruan, selain terbayang akan Inul Daratista atau Taman Safari, nama berbagai ulama juga turut menghiasi bayangan warga Indonesia, khususnya umat Islam.