Sultan Hasanuddin memiliki julukan Ayam Jantan dari Timur oleh Belanda ini lahir pada 12 Januari 1631 – 12 Juni 1670 adalah Sultan Gowa ke-16 dan merupakan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape.
Dia merupakan putra dari Raja Gowa ke-15, Sultan Malikussaid dan cucu dari Sultan Alauddin yang merupakan Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
Dia lahir dari pasangan Sultan Malikussaid, Sultan Gowa ke-XV, dengan I Sabbe Lokmo Daeng Takuntu. Jiwa kepemimpinannya sudah menonjol sejak kecil. Selain dikenal sebagai sosok yang cerdas, dia juga pandai berdagang. Karena itulah dia memiliki jaringan dagang yang bagus hingga Makassar, bahkan dengan orang asing.
Sejak kecil ia mendapat pendidikan keagamaan di Masjid Bontoala. Sejak kecil ia sering diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting, dengan harapan dia bisa menyerap ilmu diplomasi dan strategi perang. Beberapa kali dia dipercaya menjadi delegasi untuk mengirimkan pesan ke berbagai kerjaan.
Saat memasuki usia 21 tahun, Hasanuddin diamanatkan jabatan urusan pertahanan Gowa. Ada dua versi sejarah yang menjelaskan kapan dia diangkat menjadi raja, yaitu saat berusia 24 tahun atau pada 1655 atau saat dia berusia 22 tahun atau pada 1653. Terlepas dari perbedaan tahun, Sultan Malikussaid telah berwasiat supaya kerajaannya diteruskan oleh Hasanuddin.
Selain dari ayahnya, dia memperoleh bimbingan mengenai pemerintahan melalui Mangkubumi Kesultanan Gowa, Karaeng Pattingaloang. Sultan Hasanuddin merupakan guru dari Arung Palakka, salah satu Sultan Bone yang kelak akan berkongsi dengan Belanda untuk menjatuhkan Kesultanan Gowa.
Saat Sultan Hasanuddin mulai memimpin Kerajaan Gowa, bumi Nusantara mulai dijajah oleh Belanda yang ingin menguasai rempah-rempah. Belanda datang ke Gowa yang memiliki kekayaan rempah-rempah melimpah. Terlebih, Gowa saat itu menjadi jalur utama perdagangan rempah-rempah dari berbagai kota dan negara di seluruh dunia.
Pada masa awal kepemimpinan Sultan Hasanuddin di Gowa, Belanda sebenarnya telah menguasai banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Meski begitu, Sultan Hasanuddin tidak mau tunduk.
Alih-alih tunduk kepada Belanda, Sultan Hasanuddin justru berusaha mengumpulkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk bergabung dan berjuang melawan penjajah
Peperangan antara kerajaan Gowa bersama para sekutunya untuk melawan pemerintahan VOC Belanda pun dimulai pada 1660. Dalam perang itu, Belanda dibantu Kerajaan Bone yang sebelumnya telah mereka taklukkan.
Pasukan Sultan Hasanuddin pun berhasil mengalahkan pasukan Belanda dan sekutunya. Mereka merebut dua kapal Belanda, yaitu Leeuwin dan De walfis. Perang antara Belanda dan Kerajaan Gowa itu menelan korban Raja Kerajaan Bone yang membantu Belanda.
Kekalahan itu membuat Belanda marah. Mereka kemudian mengirimkan pasukan yang lebih besar di bawah kepemimpinan Cornelis Spellman untuk menyerang Kerajaan Gowa dan membunuh Sultan Hasanuddin.
Pertempuran sengit pun terjadi dan berlangsung selama berbulan-bulan hingga akhirnya Kerajaan Gowa menyerah kalah. Sultan Hasanuddin pun terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya dengan VOC Belanda pada 18 November 1667.
Lantaran merasa dirugikan dengan isi Perjanjian Bongaya, Sultan Hasanuddin kembali memimpin pasukannya untuk menyerang Belanda pada 12 April 1668. Namun, pasukan Belanda terlalu kuat sehingga akhirnya Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil diduduki.
Kendati semakin terdesak, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau tunduk pada Belanda dan terus melakukan perlawanan secara sporadis. Sang Ayam Jantan dari Timur terus melawan Belanda hingga akhirnya mundur dari takhta.
Sultan Hasanuddin wafat pada 12 Juni 1670 dan dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa. Dia kemudian mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Indonesia melalui Keppres No 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973.
Wallahu A’lam Bishawb