Home Kompetisi HSN 2023 Santri, Mencintai Indonesia Tanpa Tapi

Santri, Mencintai Indonesia Tanpa Tapi

by Admin Progresif Media
santri/pexel

Sebuah Tinjauan Historis tentang Prinsip Perjuangan Kaum Santri

Oleh: PUTRI A. Z

Dihina Tidak Tumbang, Dipuji Tidak Terbang

Kalau ada elemen bangsa yang sangat memengaruhi rekam jejak sejarah Indonesia, tetapi tidak banyak disorot, tidak lain tidak bukan adalah santri. Praktis baru ketika Presiden Joko Widodo meneken Keppres Nomor 22 Tahun 2015 yang berisi penetapan tanggal 22 Oktober (tanggal lahirnya Resolusi Jihad oleh Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asyari) sebagai Hari Santri Nasional, santri mulai ‘dilirik’ lebih intens. Berada pada posisi tersebut, sudah selayaknya kaum santri mempertahankan etos perjuangannya. Tidak peduli hinaan atau pujian bertebaran, selama itu untuk kepentingan bangsa dan negara, panji perjuangan harus terus dikibarkan.

Clifford Geertz (1960) dalam The Religion of Java, menyatakan bahwa santri termasuk dalam varian masyarakat Jawa (di samping priyayi dan abangan) yang taat kepada ajaran Islam. Sejak dulu, utamanya sejak zaman Mataram Islam, santri sudah hidup berdampingan dengan elemen masyarakat lain. Dan sejarah membuktikan, meski dihantam sana-sini, bahkan beberapa kali mengalami pembantaian dan pengkhianatan, kaum santri tetap kokoh berdiri. Hingga saat ini.

Memanfaatkan Ruang Kosong Perjuangan

Dari latar belakang sejarah tersebut, saat ini santri di Indonesia termasuk beruntung, jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat agamis di belahan dunia yang lain. Bagaimana tidak? Di saat dunia berkecamuk dengan perang, baik senjata maupun ekonomi, santri di Indonesia relatif adem ayem. Di saat dunia dihadapkan pada lunturnya budaya dan kemanusiaan, santri di Indonesia tidak langsung berhadapan dengan masalah serupa.

Saat saya sedang menulis artikel ini, seperti yang kita semua tahu, di Timur Tengah, tepatnya Palestina, sedang berlangsung perang antara Hamas (Palestina) melawan Zionis (Israel). Perang tersebut rasa-rasanya seperti abadi saja, karena sama sekali tidak terlihat kapan berakhirnya. Kelompok perjuangan di Palestina tidak sempat berdialektika mengenai kemajuan bangsanya. Mereka disibukkan dengan perjuangan berkepanjangan menjaga Palestina siang dan malam. Di tengah bising deru peluru dan roket, mereka berjuang sampai titik nadir mempertahankan agama, bangsa, dan negaranya.

Saat saya sedang menyusun kata demi kata dalam tulisan ini, di belahan dunia barat (Eropa dan Amerika) sedang terjadi dekulturasi besar-besaran, yang sayangnya, arahnya menuju pada kehancuran peradaban manusia. Kelompok perjuangan agama di sana langsung berhadapan dengan kelompok-kelompok ekstrem yang sangat berlawanan dengan norma dan nilai yang diusung oleh agama. Sebagai contoh, di hampir seluruh wilayah Eropa dan Amerika, saat ini, komunitas LGBT menjamur bak cendawan di musim penghujan. Bahkan beberapa negara, pemerintahannya melegalkan LGBT, baik perilakunya maupun statusnya. Ada juga beberapa negara yang menerapkan aturan yang sangat kental unsur diskriminasi. Sebagai contoh, sejak tahun 2010 pemerintah Prancis melarang pemakaian hijab, niqab, dan sejenisnya bagi perempuan ketika beraktivtas di tempat umum seperti jalan, taman, transportasi umum, sekolah, dan gedung- gedung pemerintahan.

Baca Juga:  Peran Santri dalam Pengelolaan Sampah Terintegrasi di Lingkungan Pesantren

Dari tiga contoh yang saya sebutkan di atas, tidak ada satu pun yang harus dihadapi oleh santri di Indonesia. Kalaupun ada, intensitasnya tidak masif. Ditambah dengan rilis terbaru oleh Statista yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara nomor satu yang paling percaya Tuhan (93% rakyat Indonesia percaya keberadaan Tuhan). Statistik tersebut bisa dimaknai bahwa rakyat Indonesia masih sangat memegang nilai dan norma agama, yang sumbernya adalah kepercayaan kepada Tuhan. Artinya, santri di Indonesia hidup di dalam lingkaran kemanusiaan yang ‘sehat’. Berkaca dari hal tersebut, sudah sepantasnya santri bisa memanfaatkan ruang kosong perjuangan. Jika di belahan dunia yang lain kaum agamisnya sibuk berperang melawan banyak hal, di Indonesia, santri relatif ‘tidak berperang’ dengan siapa pun. Pertanyaannya, lalu apa yang mesti dilakukan oleh kaum santri?

Menuju Indonesia Emas 2045

Sejak awal dekade 2010, mulai diembuskan teori, program, analisis tentang bonus demografi di Indonesia. Medio 2030—puncaknya pada 2045, jumlah penduduk produktif di Indonesia (usia 15—64 tahun) akan lebih besar daripada penduduk nonproduktif (usia 0—14 tahun dan 65 tahun ke atas). Puncaknya memang pada tahun 2045, tetapi statistik tersebut akan mulai muncul di awal tahun 2030 (kominfo.go.id). Sekarang sudah tahun 2023, apakah kita akan tetap tinggal diam? Apakah kita tetap gini-gini saja?

Semua elemen masyarakat mesti bersatu menuju visi yang sama. Baik dari segi kualitas ilmu pengetahuan, penguasaan moral, serta karakter, mestinya santri menjadi motor pergerakan. Mestinya santri menjadi ujung tombak. Mestinya santri menjadi frontman. Mengapa saya bilang ‘mestinya’? Karena alih-alih menjadi motor pergerakan, bisa jadi santri malah menjadi paku yang bisa menyebabkan perjuangan berhenti. Alih-alih menjadi ujung tombak, barangkali santri malah menjadi tombak tumpul. Alih-alih menjadi frontman, justru bisa saja santri malah jadi follower semata. Segala kemungkinan bisa terjadi, bergantung pada hal yang dibahas sebelum subbab ini, bisakah santri memanfaatkan ruang kosong perjuangan?

Secara teoretis, pasti bisa. Santri memiliki semua modal untuk menjadi motor pergerakan, ujung tombak, ataupun frontman. Bekal agama santri sangat kuat. Pondasi karakter santri sangat kokoh. Dan koneksi santri juga luar biasa luas. Dalam dunia pesantren, ada forum bernama bahtsul masail. Forum tersebut mewadahi perspektif para santri dalam meninjau permasalahan agama yang aktual. Bahtsul masail dalam praktiknya hampir sama dengan diskusi dan debat pada umumnya. Beda paling mencolok adalah dalam bahtsul masail selalu membawa rekomendasi-rekomendasi fatwa atau anjuran yang akan dibawa ke lembaga terkait, untuk kemudian disebarluaskan kepada masyarakat.

Baca Juga:  Santri: Agen Penyemai Kebahagiaan

Pesantren tempat santri ngangsu kaweruh juga kini banyak berbenah. Pondok pesantren yang dulunya identik dengan lingkungan fisik yang kurang bersih, pola pikir ketinggalan zaman, dan tertutup dari dunia luar, perlahan tapi pasti itu semua berubah. Kini muncul ribuan pesantren modern di seantero Indonesia. Modernitas tersebut dirawat beriringan dengan nilai dan norma pesantren yang sudah ada sejak dulu. Kini hampir semua pesantren lingkungan fisiknya bersih dan asri, kurikulum pendidikannya berkembang progresif, serta jangkauan jaringannya menyebar ke mana-mana.

Dari dua modal (budaya dialektika dalama bahtsul masail dan modernisasi pondok modern) ini saja, bisa dipastikan santri-santri yang ‘diproduksi’ oleh pondok pesantren Insya Allah adalah kaum yang akan mengawal Indonesia Emas 2045. Santri yang memiliki tradisi berdialektika yang sehat dan dibesarkan dalam lingkungan fisik yang memadai, akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh serta tahan banting.

Dalam hati kecil, saya jelas ingin itu semua terjadi. Sebagai orang yang pernah mencicipi bangku pesantren, saya ingin santri menjadi anasir utama dalam usaha menuju Indonesia Emas
2045. Namun, di sisi lain, saya juga ingin santri terus menjaga jati dirinya sebagai kaum yang ikhlas, sebagai unsur masyarakat yang legowo. Yang kalau hal paling buruk terjadi sekalipun, santri tetap menjunjung tinggi NKRI. Mencintai negeri tanpa tapi. Semoga bisa berjalan beriringan. Dan semoga harapan-harapan yang menyeruak dalam tulisan ini, kelak, cepat atau lambat, segera menemukan muaranya. Aamiin YRA.

JUARA II – Artikel ini merupakan Pemenang dalam Kompetisi Semarak Hari Santri Nasional oleh Progresif Digital Media

Related Posts

Leave a Comment