Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi”i al-Muththalibi al-Qurasyi atau singkatnya Imam Asy-Syafi”I adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi”i. Imam Syafi”i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Sebelum menjadi ahli fikih besar, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik, pendiri Mazhab Maliki. Imam Syafi’i mengembangkan mazhabnya pada awal abad ke-9, yang kemudian populer di beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah terkait tempat lahir Imam Syafi’i. Ada yang mengatakan di Gaza, ada juga yang berpendapat di Asqalan, dekat Gaza.
Setelah Imam Syafi’i lahir, Fatimah mengajak anaknya untuk pindah ke Makkah. Imam Syafi’i dibesarkan di Makkah oleh ibunya seorang diri, karena ayahnya, Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i, telah meninggal di Gaza.
Ibunya yang cerdas membimbing Imam Syafi’i membaca dan menghafal Alquran. Ketika menginjak umur 7 tahun, Imam Syafi’i sudah khatam menghafal Alquran.
Setelah menyelesaikan hafalan Alquran, Imam Syafi’i melanjutkan dengan menghafal berbagai macam syair-syair Arab dan kitab Al-Muwattha’ yang ditulis oleh Imam Malik.
Ia melanjutkan studinya dengan berguru kepada Sufian bin Uyainah, salah seorang ahli hadist Mekah dan pembesar Tabi’u Tabi’in yang wafat pada tahun 198 H. Imam Syafi’i juga berguru kepada Muslim bin Khalid Al-Zanji, salah seorang ahli Fikih Mekah dan beliau juga merupakan pembesar Tabi’u Tabi’in yang wafat pada tahun 179 H.
Ketika menginjak umur 13 tahun, yakni tepatnya pada tahun 163 H, Imam Syafi’i berangkat ke Madinah Munawwarah untuk berguru kepada Imam Malik. Beliau merupakan salah seorang ulama hadist sekaligus pakar fikih di Madinah yang wafat pada tahun 179 H. Imam Syafi’i tidak pernah meninggalkan kota Madinah kecuali setelah wafatnya Imam Malik.
Pada tahun 184 H, Imam Syafi’i berangkat ke Iraq untuk diadili oleh Harun Al Rasyid atas tuduhan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah. Namun akhirnya beliau dibebaskan atas rekomendasi Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani yang merupakan murid terbaik dari Imam Abu Hanifah yang pada saat itu menempati posisi Qadhi pada pemerintahan Abbasiyah.
Setelah dibebaskan dari tuduhan tersebut, beliau menetap di Baghdad. Ia berguru kepada Muhammad bin Hasan AsySyaibani tentang Fikih Hanafi atau Mazhab Ahli Ra’I sampai beliau wafat.
Setelah wafatnya Muhammad bin Hasan pada tahun 189, Imam Syafi’I meninggalkan kota Baghdad menuju kota Makkah dan mengisi kajian Fikih serta memberikan fatwa di masjid Haram. Pada saat itulah beliau mulai merintis Mazhab sendiri yang berbeda dengan kedua gurunya yaitu Imam Malik dan Muhammad bin Hasan.
Setelah menetap selama 6 tahun di Makkah, Imam Syafi’i meninggalkan Tanah Suci dan kembali menuju Baghdad pada tahun 195 H. Tujuan beliau kembali lagi ke Baghdad adalah untuk mengembangkan dan menyebar luaskan mazhabnya.
Selama berada di Baghdad, beliau berhasil menulis kitab dalam bidang Usul Fikih yang berjudul al-Risalah dan dalam bidang fikih yang berjudul al-Hujjah atau yang lebih dikenal dengan mazhab Qadim.
Beberapa murid beliau di Baghdad adalah Imam Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur al-Kalbi, Abu Ali al-Karabisi, dan Hasan al-za’farani.
Pada tahun 199 H, Imam Syafi’I berangkat menuju Mesir untuk menyebar luaskan mazhabnya. Beberapa murid beliau selama berada di Mesir adalah Abu Yaqub al-Buwaithi, Ismail al-Muzani, dan Rabi’ al-Muradi.
Ketika berada di Mesir, beliau banyak merevisi fatwanya dengan yang baru atau yang lebih dikenal dengan Mazhab Jadid yang dicantumkan dalam kitab beliau yang berjudul al-Umm.
Seiring berjalannya waktu, Mazhab Syafi’i menyebar dari Mesir kemudian populer di kalangan ulama Islam Sunni. Imam Syafi’i menghabiskan sisa hidupnya di Mesir hingga meninggal pada 204 H atau 821 M.
Wallahu A’lam Bishawb