Dalam perjalanannya, Nahdlatul Ulama tak lepas dari peran ulama. Di Jember, ada seorang ulama besar yang mewariskan para wali dan pemimpin Nahdlatul Ulama. Tercatat, para zuriat darinya telah lama memimpin dan mendidik kader Nahdlatul Ulama, baik skala regional hingga nasional, di masa penjajahan hingga masa kini.
Namanya KH. Muhammad Shiddiq. Lahir di Lasem pada 1854 dari pasangan KH. Abdullah dan Hj. Aminah. Menurut KH. Ahmad Qusyairi dan KH. Abdul Halim, silsilah kedua orangtuanya tersambung ke banyak ulama dan raja besar. Sebut saja Joko Tingkir, Sunan Ampel, hingga as-Sayyid Abdurrahman bin Hasyim Basyaiban (Mbah Sambu Lasem).
KH. Muhammad Shiddiq belajar kepada KH. Abdul Aziz Baidlowi (Lasem), KH. Muhammad Sholeh (Darat), KH. Muhammad Sholeh (Langitan), Syaikhona R. KH. Muhammad Kholil (Bangkalan), dan masih banyak lagi. Ia dikenal sebagai santri yang saleh, tawadhu’, dan wara’.
Suatu hari, ketika belajar di Bangkalan, ia mendapat bongkahan emas ketika sedang menimba sumur. KH. Muhammad Shiddiq langsung berdoa kepada Allah agar diberikan zuriat yang saleh. Benar saja, hampir seluruh zuriatnya memiliki derajat yang mulia di mata masyarakat.