PROGRESIF EDITORIAL – Mushannif yang berarti pengarang kitab memiliki kebiasaan dalam menulis kitab yang dikarangnya. Seperti pada Kitab Shahih Bukhari beliau Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari memiliki kebiasaan dalam menulis hadis.
Dalam Majelis Sama’ Shahih Bukhari yang digelar di Pesantren Progresif Bumi Shalawat pada tanggal 1-9 Februari, beliau Syekh Yusri Rusydi Jabr al-Hasani menjelaskan bahwa kebiasaan dari pengarang kitab (mushannif) yaitu ketika menyebutkan sebuah bab, misalkan babul iman, maka hadis yang pertama itu kedudukannya adalah sebagai syahid. Kemudian hadis yang kedua adalah merupakan sebagai tabi’. Yang mana kalau syahid ini hadisnya adalah asoh (lebih shahih), kemudian yang tabi’ adalah sahih akan tetapi keduanya sama-sama shahih.
Beliau menjelaskan tentang metodologi yang umum digunakan oleh para penulis kitab (mushonnif) dalam menyusun bab-bab dalam kitab mereka, khususnya dalam konteks hadis. Mari kita bedah lebih dalam maksud dari teks ini:
Memahami Istilah Kunci
- Mushonnif: Istilah ini merujuk kepada para ulama yang menulis dan menyusun kitab-kitab, terutama kitab-kitab hadis. Mereka adalah tokoh-tokoh penting dalam tradisi keilmuan Islam yang memiliki otoritas dalam bidang hadis.
- Bab: Dalam konteks penulisan kitab, “bab” adalah bagian atau judul yang dikhususkan untuk membahas tema atau topik tertentu. Misalnya, “Bab Iman” membahas tentang keimanan, “Bab Shalat” membahas tentang shalat, dan seterusnya.
- Syahid: Dalam konteks hadis, “syahid” adalah hadis yang memiliki sanad (rantai periwayat) yang kuat dan sahih, serta memiliki jalur periwayatan lain yang menguatkan kesahihan hadis tersebut. hadis syahid memiliki kedudukan yang tinggi dalam hierarki hadis.
- Tabi’: “Tabi'” secara bahasa berarti “mengikuti”. Dalam konteks hadis, istilah ini merujuk kepada hadis yang memiliki sanad yang shahih, namun jalur periwayatannya tidak sebanyak hadis syahid. Hadis tabi’ biasanya digunakan untuk menguatkan atau mendukung hadis syahid.
- Ahsah: Kata “ashah” berarti “lebih shahih”. Dalam konteks ini, ia digunakan untuk membandingkan tingkat keshahihan antara dua hadis. Hadis yang “ashah” berarti memiliki tingkat keshahihan yang lebih tinggi dibandingkan hadis lainnya.
- Sahih: Hadis sahih adalah hadis yang memenuhi kriteria keshahihan yang ketat, seperti sanadnya yang bersambung, perawinya yang terpercaya, tidak ada ‘illat (cacat) dan tidak ada syadz (kejanggalan). Hadis sahih merupakan salah satu tingkatan hadis yang dapat dijadikan hujjah (dalil) dalam agama Islam.
Beliau menjelaskan bahwa para mushonnif, ketika menyusun bab dalam kitab mereka, biasanya mengikuti pola tertentu dalam memilih dan menempatkan hadis. Pola tersebut adalah:
- hadis Pertama sebagai Syahid: Hadis pertama yang disebutkan dalam suatu bab biasanya adalah hadis yang berstatus syahid. hadis ini memiliki kedudukan yang paling tinggi karena memiliki sanad yang kuat dan dikuatkan oleh jalur periwayatan lain. Hadis ini berfungsi sebagai landasan atau dalil utama dalam pembahasan bab tersebut.
- Hadis Kedua sebagai Tabi’: Hadis kedua yang disebutkan dalam bab tersebut biasanya adalah hadis yang berstatus tabi’. hadis ini memiliki sanad yang shahih, namun tidak sekuat hadis syahid. Hadis tabi’ berfungsi sebagai pendukung atau penguat bagi hadis syahid.
- Perbandingan Keshahihan: Teks tersebut juga menjelaskan bahwa hadis syahid biasanya “ashah” (lebih sahih) dibandingkan hadis tabi’. Namun, keduanya tetap sama-sama berstatus sahih dan dapat dijadikan hujjah. Perbedaan tingkat keshahihan ini lebih berkaitan dengan jumlah dan kekuatan jalur periwayatan yang dimiliki oleh masing-masing hadis.
Implikasi Metodologi
Metodologi yang dijelaskan dalam teks ini memiliki beberapa implikasi penting dalam studi hadis:
- Prioritas Hadis Syahid: Para ulama hadis memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada hadis syahid dalam pengambilan hukum atau kesimpulan. Hal ini karena hadis syahid memiliki tingkat keshahihan yang lebih tinggi dan lebih kuat untuk dijadikan dalil.
- Penggunaan Hadis Tabi’: Hadis tabi’ tetap penting dan berguna, terutama untuk memperkuat atau mendukung hadis syahid. Hadis tabi’ juga dapat memberikan penjelasan tambahan atau rincian lebih lanjut tentang suatu masalah.
- Kehati-hatian dalam Menilai Hadis: Metodologi ini mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam menilai hadis dan tidak terburu-buru mengambil kesimpulan hanya berdasarkan satu hadis. Penting untuk memperhatikan status hadis, jalur periwayatannya, dan hadis-hadis lain yang terkait dengan tema yang sama.
Beliau, Syekh Yusri Rusydi Jabr al-Hasani memberikan wawasan berharga tentang metodologi yang digunakan oleh para mushannif dalam menyusun kitab-kitab hadis. Dengan memahami metodologi ini, kita dapat lebih menghargai karya-karya ulama hadis dan lebih berhati-hati dalam mempelajari dan memahami hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
[1] https://www.republika.id/posts/19244/sejarah-awal-penulisan-hadis
[2] https://muslim.or.id/25325-sejarah-penulisan-hadits-2.html
[3] https://nu.or.id/ilmu-hadits/memahami-hadits-larangan-menulis-sabda-rasulullah-doxoM
[4] http://ejournal.stiqwalisongo.ac.id/index.php/albayan/article/download/88/56/
[5] https://aljamiah.or.id/ajis/article/view/4081
[6] https://ejournal.unia.ac.id/index.php/el-waroqoh/article/download/934/668
[7] http://repository.iainkudus.ac.id/10315/1/Buku-Studi%20Kitab%20Hadis-Muhammad%20Misbah.pdf
[8] https://brainly.co.id/tugas/28264819