Home Seputar Islam Kisah Pilu Rabiah Al-Adawiyah yang Jarang diketahui

Kisah Pilu Rabiah Al-Adawiyah yang Jarang diketahui

by Farrel Dimas Saputra

Rabiah Al-Adawiyah, dikenal juga dengan nama Rabi’ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan kecintaannya terhadap Allah. Rabi’ah al Adawiya lahir sekitar 95-99 Hijriah di Bashrah, Irak. Rabi’ah tumbuh di keluarga yang miskin dengan rumah gelap gulita, tanpa penerangan sama sekali. Ia yang menjadi yatim piatu kelak melewati masa kelaparan serta dijual sebagai budak.

Ia merupakan wanita beraliran Sunni pada masa Dinasti Umayyah yang menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah. Berkat peranannya yang besar, Rabiah Al-Adawiyah dijuluki sebagai “The Mother of the Grand Master” atau Ibu Para Sufi Besar karena Kezuhudannya.

Ayahnya bernama Ismail, ketika malam menjelang kelahiran Rabi’ah, kondisi perekonomian sang ayah sangat buruk sehingga ia tidak punya uang dan penerangan untuk bisa menemani istrinya melahirkan.

Beberapa hari kemudian setelah Rabi’ah lahir, Ismail bertemu dengan Nabi Muhammad dalam mimpinya. Di dalam mimpi itu, Nabi Muhammad mengatakan kepada Ismail untuk tidak bersedih karena Rabi’ah kelak akan tumbuh menjadi seorang wanita yang mulia.

Sejak kecil, Rabi’ah sudah dikenal sebagai anak yang sangat pintar dan taat beribadah. Beberapa tahun berselang, ayahnya, Ismail meninggal dunia yang kemudian disusul oleh sang ibu, sehingga sejak kecil Rabi’ah sudah menjadi yatim piatu.

Kedua orang tuanya hanya meninggalkan harta sebuah perahu yang kemudian digunakan oleh Rabi’ah untuk mencari nafkah. Rabi’ah pun bekerja sebagai penarik perahu yang menyebrangkan orang-orang dari Sungai Dajilah ke sungai lain.

Saat Basrah dilanda bencana alam dan kemarau panjang, Rabi’ah bersama ketiga saudaranya memilih untuk berkelana ke berbagai daerah demi bertahan hidup. Namun, dalam pengembaraannya, Rabi’ah terpisah dengan ketiga saudara perempuannya.

Nahasnya, Rabi’ah yang hanya seorang diri diculik oleh sekelompok penyamun dan ia dijadikan hamba sahaya. Hamba sahaya adalah orang yang menjadi korban perdagangan manusia. Disebutkan bahwa Rabi’ah dijadikan hamba sahaya seharga enam dirham kepada seorang pedagang.

Selama beberapa waktu, Rabi’ah harus hidup di dalam kesengsaraan yang teramat dalam. Majikan baru Hazrat Rabia biasa membuatnya bekerja keras dengan pekerjaan rumah tangga.

Baca Juga:  Ternyata Pendidikan Islam Berkembang di Kota Ini, Lho!

Suatu malam, Rabi’ah bermunajat kepada Allah, apabila dapat bebas dari perbudakan ini, ia berjanji tidak akan berhenti beribadah. Tidak disangka, doa Rabi’ah langsung terjawab. Saat sedang salat malam, tiba-tiba majikan dari Rabi’ah dikejutkan oleh sebuah lentera yang bergantung di atas kepalanya tanpa sehelai tali.

Cahaya tersebut bagaikan lentera yang menyinari seluruh rumah atau yang disebut sakinah, berarti cahaya rahmat Tuhan dari seorang muslimah suci. Seketika itu juga sang majikan merasa bahwa mempertahankan orang suci seperti itu dalam pengabdiannya adalah tindakan yang tidak sopan. Dia memutuskan untuk melayaninya sebagai gantinya. 

Di pagi hari, dia memanggilnya dan memberi tahu keputusannya; dia akan melayaninya dan dia harus tinggal di sana sebagai nyonya rumah. Jika dia bersikeras meninggalkan rumah, dia bersedia membebaskannya dari perbudakan. Rabi’ah pun mengatakan kepadanya bahwa dia bersedia meninggalkan rumah untuk melanjutkan ibadahnya dalam kesendirian.  

Setelah tidak lagi menjadi hamba sahaya, Rabi’ah pergi ke Padang Pasir dan tinggal di sana. Di tempat inilah Rabi’ah menghabiskan waktunya beribadah kepada Allah. Bahkan, Rabi’ah juga memiliki majelis yang dikunjungi oleh banyak murid. Meskipun dia memiliki banyak tawaran untuk menikah, dan dia menolak mereka karena dia tidak punya waktu dalam hidupnya untuk apapun selain Tuhan.

Di antara mereka yang hendak melamarnya adalah Abdul Wahid bin Zaid, seorang teolog dan ulama, Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir dari dinasti Abbasiyah yang sangat kaya, juga seorang Gubernur yang meminta rakyat Basrah untuk mencarikannya seorang istri dan penduduk Basrah bersepakat bahwa Rabi’ah adalah orang yang tepat untuk gubernur tersebut.

Related Posts

Leave a Comment