PROGRESIF EDITORIAL – Indonesia adalah surga bagi perkembangan pendidikan Islam. Banyak sekali ulama yang datang dan lahir dari bumi pertiwi. Pengaruh mereka tak hanya berkutat di dalam negeri, tetapi bertebaran hingga mancanegara. Kebesaran dan keagungan tersebut tak lepas dari peran 2 ulama besar, siapa saja?.
KH. R. Muhammad Kholil bin Abdul Lathif atau biasa disebut Syaikhona Kholil merupakan mahaguru para ulama nusantara. Lahir di Bangkalan pada 1835, beliau merupakan putra dari KH. R. Abdul Lathif bin Hamim. Silsilahnya bersambung ke hampir seluruh Walisongo.
Di masa kecilnya, Syaikhona diasuh oleh kakaknya, KH. R. Kaffal. Beliau disekolahkan ke berbagai pesantren seperti Sidogiri, Cangaan, dan Langitan. Namun, beliau jarang bertahan lama di 1 pesantren karena kecepatannya dalam menerima ilmu. Tak hanya itu, Syaikhona telah hafal al-Quran dan Alfiyah Ibnu Malik sejak usia remaja.
Syaikhona dikenal memiliki keistimewaan sejak usia remaja. Suatu hari, beliau pernah shalat di sebuah langgar (mushola kecil). Lalu, Syaikhona tiba-tiba tertawa karena melihat nasi di atas kepala imam. Imam masjid terheran karena Syaikhona tahu bahwa ia sedang memikirkan nasi berkat yang belum termakan.
Setelah menikah dengan Nyai Asyiq, putri Pangeran Lodra Patih, Syaikhona memutuskan untuk belajar di Makkah dan Mesir. Di sana, beliau berguru kepada asy-Syaikh Abd al-Ghani al-Bimawi, as-Sayyid Ahmad bin Zaini bin Dakhlan al-Jilani, asy-Syaikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, asy-Syaikh Ahmad Nawawi al-Bantani, asy-Syaikh Ali ar-Rahbini, dan masih banyak lagi.
Beliau kemudian pulang ke Indonesia, Syaikhona mendirikan pesantren pertama di Jengkebuen. Pesantren beliau tumbuh menjadi pusat pendidikan Islam di Indonesia kala itu. Banyak sekali ulama agung yang lahir di sana, seperti KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (Tebuireng), KH. R. As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas), KH. Abdul Karim (Lirboyo), KH. Muhammad Hasan (Genggong), dan masih banyak lagi.
Dalam mengajar para santrinya, Syaikhona dikenal menggunakan cara yang unik. Banyak sekali kisah ulama yang mendapat pendidikan tak biasa dari beliau. Mulai dari KH. Ma’shum Ahmad (Lasem) yang dikurung di kandang ayam, KH. Bahar Nurhasan (Sidogiri) yang disuruh memakan nasi dan buah dengan porsi besar, KH. Muhammad Hasan (Genggong) yang dikubur 40 hari, hingga KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas) yang diusir berkali-kali.
Syaikhona juga terkenal memiliki berbagai karomah. Mulai dari menyembuhkan orang sakit dengan modal tulisan “زيد قائم” hingga membelah diri di berbagai tempat untuk melakukan kebaikan pada masyarakat.
Pada 1877, Syaikhona mendirikan pesantren baru di Demangan, 1 km di utara Jengkebuen. Pesantren lamanya dikelola oleh KH. Muntaha, keponakan sekaligus menantu beliau. Saat ini, pesantren tersebut dikenal dengan Pesantren al-Muntaha dan diasuh oleh keluarga KH. R. Kholili.
Syaikhona memiliki 7 anak, tapi hanya 4 yang meneruskan keturunan hingga sekarang. Saat ini, para cicit beliau masih meneruskan keilmuan beliau. Bahkan, pesantren warisan beliau kini tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Syaikhona Kholil wafat pada 1925, meninggalkan berjuta peninggalan untuk umat Islam Indonesia. Kini, pesantren beliau di Demangan dikelola oleh keluarga KH. R. Abdullah Schal. Makam beliau di Desa Martajasah masih sangat ramai dikunjungi peziarah dari penjuru negeri, bahkan dunia.
Selanjutnya, Mbah Sholeh Darat…
KH. Muhammad Sholeh bin Umar atau biasa disebut Mbah Sholeh Darat lahir di Jepara pada 1820. Beliau adalah putra KH. Umar bin Tasnim. Tidak ditemukan latar belakang yang pasti tentang keluarga beliau. Namun, KH. Tasnim, kakek Mbah Darat, adalah kiai kampung yang paling dihormati di masanya.
Mbah Sholeh belajar di beberapa ulama lokal sebelum akhirnya menghabiskan masa muda di Makkah. Di Makkah, beliau belajar pada asy-Syaikh Muhammad al-Muqri, asy-Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi, asy-Syaikh Sulaiman bin Hasbullah al-Makki, dan as-Sayyid Ahmad bin Zaini bin Dakhlan al-Jilani.
Mbah Sholeh awalnya memutuskan untuk menetap di Makkah. Namun, KH. Abdul Hadi Girikusumo, seorang ulama dari Semarang, diam-diam menculik beliau agar dapat mengajar masyarakat Jawa. Mbah Sholeh akhirnya bermukim di Darat, sebuah desa di pesisir Semarang.
Di Darat, Mbah Sholeh membuka pesantren. Awalnya, pesantren tersebut berupa sebuah langgar. Namun, pesantren Mbah Sholeh tumbuh menjadi rujukan keilmuan di Jawa Tengah. Banyak sekali ulama dan tokoh nasional yang tumbuh dari pesantren ini. Mulai dari KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, KH. Achmad Dachlan, bahkan R. A. Kartini.
Mbah Sholeh dikenal memiliki banyak karomah. Suatu hari, beliau ditangkap Belanda dan dijanjikan segepok uang agar mau menyerah dengan mereka. Namun, Mbah Sholeh secara tak sadar mengubahnya menjadi emas. Sontak, beliau kaget dan sangat menyesali kejadian tersebut hingga wafatnya.
Mbah Sholeh wafat di Darat pada 1903, meninggalkan 4 anak dari 3 istrinya. Makam beliau di TPU Bergota masih sangat ramai dikunjungi peziarah
Editor : Aqila Nur Rahmalia