Home Seputar Islam Sejarah Budaya Panggilan ‘Gus’, Menilik Makna Dibaliknya

Sejarah Budaya Panggilan ‘Gus’, Menilik Makna Dibaliknya

by Aqila Nur Rahmalia
Menilik Panggilan Gus/AI Generated by Freepik

PROGRESIF EDITORIAL – Kasus seorang Gus  dan penjual es teh menjadi viral sekaligus kontroversial di media sosial setelah insiden yang terjadi pada 20 November 2024. Kasus ini mencerminkan pentingnya sensitivitas dalam berkomunikasi, terutama bagi tokoh publik. Ucapan yang dianggap guyonan dapat memiliki konsekuensi besar jika melibatkan harga diri orang lain. Insiden ini menjadi pelajaran bagi banyak pihak tentang etika berbicara dan tanggung jawab sosial dalam peran publik.

Kasus ini juga memicu beberapa pertanyaan dari sebagian kalangan masyarakat tentang asal usul panggilan Gus. Secara etimologis, panggilan ‘Gus’ berasal dari kata Bagus, yang merupakan sebutan untuk putra raja atau bangsawan dalam tradisi keraton. Dalam konteks ini, Raden Bagus disingkat menjadi Den Bagus. Panggilan ini awalnya digunakan untuk anak laki-laki dari kalangan terhormat, dan seiring waktu, maknanya meluas menjadi sebutan untuk putra kiai atau ulama.

Istilah ini awalnya digunakan untuk menyebut putra-putra raja di lingkungan keraton, khususnya pada masa Kesultanan Mataram Islam. Pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820), panggilan ini mulai populer sebagai sapaan kehormatan bagi anak-anak raja, yang sering disebut dengan Gusti atau Den Bagus. Seiring berjalannya waktu, para ulama dan kiai yang berada di luar keraton mulai menggunakan panggilan ini untuk anak laki-laki mereka. Panggilan ‘Gus’ kemudian menjadi lebih umum dan meluas ke kalangan masyarakat, khususnya di lingkungan pesantren. Dalam konteks ini, ‘Gus’ menjadi gelar yang disematkan kepada putra-putra kiai, mencerminkan harapan bahwa mereka akan meneruskan peran spiritual dan kepemimpinan orang tua mereka.

Setelah kemerdekaan Indonesia, penggunaan panggilan ‘Gus’ semakin meluas dan resmi digunakan untuk menyebut putra pemimpin pesantren. Dalam tradisi NU, panggilan ini menjadi simbol penghormatan dan status bagi anak-anak kiai. Panggilan ini tidak hanya terbatas pada keturunan kiai, tetapi juga dapat diberikan kepada individu yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan dihormati dalam masyarakat. Di kalangan pesantren, panggilan ‘Gus’ dianggap istimewa dan memiliki kedudukan terhormat. Ini menunjukkan pengakuan terhadap jasa orang tua mereka, bukan sekadar pencapaian pribadi. Dalam beberapa konteks, istilah ‘Gus’ juga digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki karakter baik dan akhlak mulia

Panggilan ini bisa didapat melalui proses perjuangan serta pengorbanan (achieved status), seperti seseorang yang bukan anak kiai tetapi memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama. Namun panggilan ini juga umum didapat secara alami (ascribed status) yang disebabkan faktor keturunan seperti anak kiai.

Dalam salah satu kesempatan saat mengisi sesi ceramah di sebuah Kampus di Jawa Tengah, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab dipanggil Gus Baha menjelaskan bahwa panggilan ‘Gus’ harus disematkan dengan penuh tanggung jawab. Ia menekankan bahwa tidak semua orang yang menggunakan gelar ini memenuhi kualifikasi sebagai seorang Gus. Dalam pandangannya, gelar tersebut harus mencerminkan akhlak dan pengetahuan agama yang baik. Gus Baha juga menyoroti pentingnya keaslian dalam penggunaan gelar ini, dengan menyatakan bahwa ada istilah seperti Gus naturalisasi untuk mereka yang tidak berasal dari latar belakang keilmuan yang mumpuni tetapi menggunakan gelar tersebut tanpa memenuhi syarat yang seharusnya.

Gus Baha menegaskan bahwa panggilan ‘Gus’ tidak hanya sekadar gelar; itu mencerminkan status dan pengakuan dalam komunitas. Ia juga menyampaikan bahwa tidak semua orang yang menyandang gelar tersebut memiliki kapasitas yang sama dalam bidang agama. Oleh karena itu, ia mengingatkan agar penyematan panggilan Gus juga harus dibarengi dengan komitmen dan kompetensi.

Related Posts

Leave a Comment

[elementor-template id="2865"]