PROGRESIF EDITORIAL – Dalam Al-Qur’an, setiap ayat memiliki hikmah yang mendalam, tidak terkecuali surah Al-Fatihah. Surah ini sering disebut sebagai Ummul Kitab atau “Induk Al-Qur’an,” karena menjadi inti dan pembuka dalam setiap shalat umat Islam. Lebih dari sekadar bacaan wajib, Al-Fatihah adalah sebuah undangan untuk merenungi hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama, dan bahkan dengan perjalanan sejarah yang telah terjadi.
Salah satu ayat yang memberikan isyarat kuat untuk belajar sejarah adalah:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
(QS. Al-Fatihah: 6-7)
Ayat ini mengandung permohonan agar umat Islam selalu berjalan di jalan yang benar, yaitu jalan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah. Namun, ada dua kelompok lain yang menjadi peringatan: mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat. Siapa mereka? Untuk memahami ini, kita harus melihat ke sejarah.
Allah tidak menyebutkan secara eksplisit siapa “yang dimurkai” dan “yang sesat” dalam ayat tersebut, tetapi Al-Qur’an, secara keseluruhan, sarat dengan kisah-kisah umat terdahulu. Misalnya, umat Nabi Musa yang sering kali tidak taat, umat Nabi Nuh yang menolak dakwah beliau, hingga kaum ‘Ad dan Tsamud yang hancur karena kesombongan mereka. Dengan mempelajari sejarah umat ini, kita dapat mengambil pelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Rasulullah SAW juga mengingatkan pentingnya mengambil pelajaran dari sejarah, sebagaimana beliau bersabda:
“Orang yang cerdas adalah yang mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain.”
(HR. Tirmidzi, no. 2459)
Selain itu, Rasulullah SAW sering menceritakan kisah-kisah umat terdahulu kepada para sahabat untuk menjadi pelajaran. Dalam hadits lain, beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba-Nya, tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada lagi orang alim, manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.”
(HR. Bukhari, no. 100; Muslim, no. 2673)