PROGRESIF EDITORIAL – Gadai (rahn) adalah salah satu bentuk transaksi dalam Islam yang dibolehkan untuk membantu seseorang mendapatkan pinjaman dengan menjaminkan barang sebagai jaminan utang. Dalam kehidupan sehari-hari, sering muncul pertanyaan: Apakah barang yang dijadikan gadai boleh digunakan, baik oleh pihak yang menggadaikan maupun penerima gadai?
Masalah ini menjadi perbincangan dalam fiqih Islam, terutama dalam konteks keadilan antara pemberi utang dan peminjam. Dalam artikel ini, kita akan membahas hukum memakai barang gadaian menurut Islam, pendapat ulama NU, serta ayat Al-Qur’an yang terkait dengan prinsip transaksi keuangan yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak.
Pengertian Gadai dalam Islam
Secara bahasa, rahn berarti tetap atau kekal. Sedangkan dalam istilah fiqih, gadai adalah suatu akad di mana seseorang menjaminkan barangnya kepada pihak lain sebagai jaminan atas utang yang harus dibayar di kemudian hari. Jika peminjam tidak mampu melunasi utangnya, maka barang gadaian dapat dijual untuk menutupi utang tersebut.
Dalam Islam, gadai diperbolehkan dengan syarat tidak mengandung unsur riba dan tidak merugikan salah satu pihak.
Hukum Menggunakan Barang Gadaian
Hukum penggunaan barang gadaian tergantung pada siapa yang menggunakannya dan jenis barang yang digadaikan.
1. Penggunaan oleh Pemberi Gadai (Pemilik Barang)
Barang yang digadaikan tetap menjadi milik orang yang menggadaikannya hingga utangnya dilunasi. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, pemilik barang masih diperbolehkan menggunakannya, selama tidak mengurangi nilai atau merusak barang tersebut.
Namun, dalam beberapa kondisi, pemilik barang mungkin perlu meminta izin kepada penerima gadai, terutama jika penggunaan barang tersebut berisiko menurunkan nilainya.
2. Penggunaan oleh Penerima Gadai (Pemberi Utang)
Mayoritas ulama sepakat bahwa penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadaian tanpa izin dari pemiliknya. Hal ini didasarkan pada prinsip keadilan dalam Islam, di mana pihak yang memberikan utang tidak boleh mendapatkan keuntungan dari transaksi pinjaman kecuali jika itu disepakati dan tidak merugikan pihak lain.
Dalam pandangan Madzhab Syafi’i, yang menjadi rujukan utama Nahdlatul Ulama (NU), barang gadaian tidak boleh dimanfaatkan oleh pemberi utang kecuali jika:
- Mendapat izin dari pemilik barang dan tidak ada unsur pemaksaan.
- Penggunaan tidak mengurangi nilai barang atau merugikan pemiliknya.
- Jika barang gadaian berupa hewan atau benda yang memiliki biaya perawatan, maka penerima gadai boleh menggunakannya sebagai kompensasi atas biaya perawatannya.
Misalnya, jika yang digadaikan adalah seekor sapi atau kambing, maka penerima gadai boleh mengambil manfaat seperti memerah susunya sebagai ganti biaya pemeliharaan hewan tersebut.
Dalil Al-Qur’an tentang Keadilan dalam Transaksi
Allah SWT telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa setiap transaksi harus dilakukan dengan adil dan tidak merugikan salah satu pihak.
Dalam Surah Al-Baqarah disebutkan bahwa setiap utang harus dicatat dengan jelas agar tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Ini menjadi dasar bahwa akad gadai harus dilakukan dengan prinsip kejelasan dan keadilan, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Ayat lain dalam Surah An-Nisa juga menekankan bahwa harta seseorang harus digunakan dengan cara yang sah dan tidak boleh dimanfaatkan secara zalim oleh orang lain. Hal ini memperkuat hukum bahwa penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadaian kecuali dengan izin yang jelas dan syarat yang tidak memberatkan pemiliknya.
Pendapat Ulama NU tentang Barang Gadaian
Ulama NU mengacu pada Madzhab Syafi’i dalam membahas hukum gadai. Beberapa poin utama dalam pandangan NU terkait penggunaan barang gadaian adalah sebagai berikut:
- Barang gadaian tetap menjadi hak milik orang yang menggadaikan, sehingga penerima gadai tidak boleh memanfaatkannya tanpa izin.
- Jika barang tersebut membutuhkan perawatan (seperti hewan ternak), maka penerima gadai boleh mengambil manfaat sebatas biaya pemeliharaan.
- Jika ada kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai pemanfaatan barang gadaian, maka kesepakatan tersebut harus jelas dan tidak merugikan pemilik barang.
Pendekatan NU menekankan pentingnya keadilan dalam muamalah, sehingga gadai tidak menjadi sarana eksploitasi yang merugikan salah satu pihak.
Contoh Kasus dalam Kehidupan Sehari-hari
Untuk memahami lebih jelas bagaimana hukum ini diterapkan, berikut beberapa contoh kasus dalam kehidupan sehari-hari:
Kasus 1: Sepeda Motor yang Digadaikan
Seseorang menggadaikan sepeda motornya kepada temannya sebagai jaminan utang. Jika temannya menggunakan sepeda motor tersebut tanpa izin, maka hukumnya tidak diperbolehkan karena motor masih menjadi hak milik pemilik aslinya.
Namun, jika pemiliknya mengizinkan dan tidak merasa dirugikan, maka penggunaan tersebut dibolehkan.
Kasus 2: Sawah yang Digadaikan
Seseorang menggadaikan sebidang sawah kepada pemberi utang. Jika penerima gadai menggunakannya untuk bercocok tanam tanpa izin, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Namun, jika ada kesepakatan bahwa hasil panen sebagian akan diberikan kepada pemilik sawah sebagai bentuk pengurangan utang, maka ini bisa dibicarakan lebih lanjut dalam akad yang jelas.
Kasus 3: Hewan Ternak yang Digadaikan
Jika yang digadaikan adalah seekor sapi atau kambing, maka penerima gadai boleh memanfaatkan susunya asalkan sebagai ganti biaya pemeliharaan. Namun, jika sapi atau kambing tersebut disembelih atau diperjualbelikan tanpa izin pemilik, maka hal itu termasuk tindakan zalim yang diharamkan.
- Barang gadaian tetap menjadi milik orang yang menggadaikan, sehingga penerima gadai tidak boleh menggunakannya tanpa izin.
- Jika barang yang digadaikan membutuhkan perawatan, seperti hewan ternak, maka penerima gadai boleh mengambil manfaat sebatas biaya pemeliharaan.
- Jika ada kesepakatan antara pemilik barang dan penerima gadai mengenai penggunaan barang tersebut, maka hal itu diperbolehkan selama tidak ada unsur pemaksaan dan tidak merugikan pemilik barang.
- Islam menekankan prinsip keadilan dalam transaksi, sehingga dalam setiap akad gadai harus dipastikan tidak ada pihak yang dirugikan.
Dengan memahami hukum ini, kita bisa menjalankan transaksi gadai dengan cara yang benar sesuai syariat Islam, tanpa menzalimi atau mengambil hak orang lain secara tidak sah.
Wallahu a’lam bish-shawab.