Home Seputar Islam Hukum Meninggalkan Sholat karena Secara Sakit Mental

Hukum Meninggalkan Sholat karena Secara Sakit Mental

by Arundaya Maulana
1 minutes read
Hukum Meninggalkan Sholat Karena Secara Sakit Mental/ Freepik Generated AI Image

PROGRESIF EDITORIAL – Sobat santri, pada umumnya ketika seseorang meninggalkan sholat dikarenakan sakit atau halangan tertentu. Dewasa ini, penyakit tidak hanya dikategorikan penyakit fisik saja, namun juga secara mental.

Digadang-gadang penyakit secara mental ini juga dapat memiliki dampak yang sama ataupun lebih parah dari penyakit yang menyerang fisik. Lantas bagaimana jika ada seseorang yang terkena penyakit mental seperti depresi dan anxiety? Apakah ia harus mengganti sholat yang telah ia tinggalkan?

Dasar utama pembahasan ini adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya:

“Sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya.”

(HR. Bukhari no. 1)

Hadis ini menjadi landasan penting dalam menilai kewajiban ibadah seseorang berdasarkan kondisi mentalnya. Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa niat yang sempurna memerlukan kesadaran penuh dari pelaku ibadah.

Depresi dan anxiety dalam pandangan fikih klasik dikategorikan sebagai bagian dari ‘udzur syar’i ketika memenuhi kriteria tertentu. Syaikh Zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahhab menjelaskan:

“Orang yang terkena was was ‘obsesif’ berat hingga menyulitkannya beribadah, atau orang yang diliputi kesedihan mendalam yang menghilangkan konsentrasi, diperlakukan sebagaimana orang sakit dalam hal keringanan ibadah.”

Kriteria gangguan mental yang dapat mempengaruhi kewajiban sholat meliputi, hilangnya kemampuan membedakan secara sempurna, ketidakmampuan mengontrol pikiran dan emosi secara stabil, adanya kondisi psikotik yang menyertai depresi berat. Dalam kondisi seperti ini, para ulama NU merujuk pada kaidah fiqih ‘Al-umuru bi maqashidiha’ Segala perkara tergantung pada tujuannya.

Majelis Bahtsul Masail NU dalam salah satu keputusannya menyatakan bahwa penderita gangguan mental berat yang sampai pada tingkat tidak menyadari apa yang dilakukannya, mendapatkan keringanan dalam pelaksanaan ibadah.

Related Posts

Leave a Comment