Namun, mereka tetap diwajibkan mengqadha sholat ketika sudah sembuh dan kembali stabil, berdasarkan hadis riwayat Muslim:
“Barangsiapa tertidur atau lupa mengerjakan sholat, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat.”
(HR. Muslim no. 684)
Untuk kasus depresi dan anxiety yang belum mencapai tingkat hilang akal secara total, para ulama memberikan beberapa panduan,yaitu tetap berusaha melaksanakan sholat sesuai kemampuan, boleh mengambil rukhsah atau keringanan seperti duduk jika tidak mampu berdiri, ketiga, jika benar-benar tidak mampu berkonsentrasi sama sekali, boleh menunda hingga kondisi memungkinkan. Keempat, wajib mengqadha sholat yang terlewat ketika sudah membaik.
Dalam praktiknya, para kiai NU membagi kondisi depresi/anxiety menjadi tiga level, level ringan tetap wajib sholat penuh, level sedang boleh dengan keringanan, dan level berat dapat keringanan penuh. Analisis dari profesional perlu menjadi pertimbangan penting dalam menentukan level-levelnya.
Konsekuensi hukum bagi penderita gangguan mental adalah tidak berdosa jika benar-benar tidak mampu, wajib berusaha mencari pengobatan, tetap dianjurkan berdzikir sesuai kemampuan, wajib mengqadha sholat ketika sudah membaik.
Hal ini berdasarkan kaidah fikih:
“Ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh”
Artinya: Apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.
Penting untuk dicatat bahwa keputusan meninggalkan sholat karena alasan kesehatan mental harus melalui konsultasi dengan ahli fikih dan tenaga medis profesional. Dalam tradisi NU, musyawarah dengan kiai atau ulama yang memahami aspek agama dan kesehatan mental sangat dianjurkan sebelum mengambil keputusan.
Wallahu a’lam bish-shawab.