Dalam mengajar, KH. Muhammad Munawwir tak hanya memberikan pengajian. Ia juga mengajarkan berbagai perilaku sehari-hari agar dapat diamalkan oleh para santri. Mulai dari rutin menyetrika pakaian, memotong rambut dan kuku, istiqamah shalat berjamaah di awal waktu beserta shalat sunnahnya (rawatib, dhuha, tahajjud, dsb.).
Lambat laun, Pesantren al-Munawwir mulai menghasilkan berbagai ulama besar. Sebut saja KH. Muhammad Arwani Amin (Kudus), KH. Badawi (Semarang), hingga KH. Ali Maksum (Lasem). Nama terakhir bahkan diambil menantu oleh KH. Muhammad Munawwir.
KH. Muhammad Munawwir menikah sebanyak 6 kali (istri ke 5 dipinang setelah wafatnya istri pertama, istri ke 6 dipinang setelah wafatnya istri ke 4). Di antaranya R.A. Mursyidah, Hj. Istiyah, Hj. Salimah, Hj. Rumiyah, Hj. Khodijah, dan Hj. Wuryan. Dari mereka, lahir 34 putra-putri yang ahli di berbagai bidang termasuk al-Quran dan Bahasa Arab.
Sebut saja KH. Zaini Munawwir yang diambil menantu oleh KH. Abdul Karim (Lirboyo, Kediri), Hj. Hasyimah Munawwir yang dipinang oleh KH. Ali Maksum (Lasem, Rembang), hingga KH. Ahmad Warson Munawwir beserta keponakannya (KH. Muhammad Atabik Ali) yang mengarang berbagai kamus bahasa arab.
KH. Muhammad Munawwir wafat setelah Shalat Jumat pada 1942 dan dimakamkan di Krapyak. Kepemimpinan lantas diteruskan oleh KH. R. Abdullah Affandi Munawwir dan KH. R. Abdul Qodir Munawwir beserta keturunannya. Kini, Pesantren al-Munawwir sebagai pesantren legendaris selalu menjadi rujukan para ulama untuk belajar ilmu al-Quran dan Bahasa Arab.
Wallahu a’lam bishshawab.