Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya aqidah dan syari’ah, punya korelasi erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik.
Pelaksanaannya kemudian diatur dalam syari’at, sebagai katalog-lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks.
Struktur masyarakat dalam konsep tata sosial Indonesia tidak bisa lepas dari kalangan santri. Santri bukan hanya dipandang sebagai kalangan yang paham agama. Peran santri dalam perjalanan sejarah Indonesia melahirkan realitas sosial politik yang berkesinambungan hingga saat ini. Kalangan santri menjadi objek sekaligus subjek dalam politik.
Politik yang hanya dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan atau pemerintahan, hanya akan mengaburkan maknanya secara luas dan menutup kontribusi Islam terhadap politik secara umum.
Sering dilupakan bahwa Islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap konteks politik secara luas, akan memperjelas korelasinya dengan Islam.
Santri identik dengan agama Islam. Tujuan pesantren membina santri adalah membangun iqomatuddin sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 122 :
Artinya : Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.
Ayat tersebut menjelaskan keharusan pembagian tugas kaum mukminin untuk iqomatuddin dan kewajiban adanya nafar, thoifah, kelompok, lembaga, atau jemaah yang mengkhususkan diri menggali ilmuddin supaya mufaqqih fiddin.
Ayat tersebut juga mewajibkan insan yang tafaqquh fiddin untuk menyebarluaskan ilmuddin dan berjuang untuk iqomatuddin serta membangun masyarakat.
Hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah politik pertama kali muncul pasca wafatnya Nabi Saw. Namun, baru berkembang pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib.