Home Esai Mengilhami sikap Santri dalam berpolitik

Mengilhami sikap Santri dalam berpolitik

by Farrel Dimas Saputra
  1. Keharusan mencintai terhadap sesama

Dari ‘Auf bin Malik r.a Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai kalian dan kalian mencintainya, mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka,

Sedangkan pemimpin yang buruk adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian (HR. Muslim, No Hadits: 1855).

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menempatkan dirinya di tengah masyarakatnya dengan tidak menjaga jarak dengan mereka, Sehingga ia pun dapat diterima kehadirannya dengan baik karena ia disenangi.

Seorang pemimpin yang baik sebaiknya berjiwa besar untuk senantiasa terbuka kepada mereka, dan bahkan dengan senang hati turun ke tengah masyarakatnya untuk memantau dan mengetahui apa masalah yang sedang mereka hadapi.

Semua masalah yang ada tentu akan mudah diselesaikan karena antara pemimpin dengan masyarakatnya sangat akrab satu sama lain.

Santri lahir dari rahim pesantren dengan kultur pendidikan yang mengutamakan semangat ke-Indonesia-an. Santri pasti menolak arogansi dan ekstremisme yang menggunakan agama sebagai alat berkampanye demi meraih jabatan politik.

Kalangan santri sepanjang sejarah Indonesia memang selalu terlibat dalam politik. Tentu saja keterlibatan santri dalam politik selalu dengan warna berbeda dengan politik praktis yang berkembang.

Kalangan agamawan pesantren menjadi aset strategis bagi para calon presiden yang akan bersaing dalam Pemilihan Umum 2024.

Lembaga survei dan media mulai memunculkan elektabilitas calon presiden. Pemberitaan tentang kedekatan tokoh-tokoh yang diproyeksikan menjadi calon presiden dengan ulama, santri, dan pesantren kian hari kian banyak.

Hal tersebut adalah bukti kalangan santri Nusantara memiliki andil besar dalam perpolitikan Indonesia.

Ketika salah satu partai politik mendeklarasikan calon presiden yang akan diusung, gerakan mendekati santri, membantu pesantren, dan mendekati kiai atau ulama langsung diintensifkan.Sowan kepada kyai atau ulama  menjadi ritual wajib sebelum pertarungan politik di mulai.

Laku seperti itu bukan hanya urusan tabarukan atau ”ngalap berkah” tetapi jelas bertujuan utama ”ngalap suara” kalangan santri dan kalangan agamawan pesantren. Dengan demikian rivalitas antara nalar kebangsaan dan politik praktis santri selalu diuji pada setiap pemilihan umum.

Baca Juga:  Rahasia Ketenangan Hidup: Mengapa Bertawakkal kepada Allah SWT Bisa Mengubah Segalanya!

Semestinya santri tidak mendukung tokoh yang menggunakan agama sebagai alat berpolitik praktis tanpa esensi. Santri harus mendukung gagasan dan pikiran yang ditawarkan agar bisa memberikan sumbangsih terhadap bangsa dan negara karena santri sebenarnya adalah penguat nalar kebangsaan.

Related Posts

Leave a Comment