Ketiga, santri menganggap peraturan dan kewajiban bagaikan angin lalu belaka. Mereka enggan melakukan bila tidak diancam, dihukum, dan sebagainya.
Persuasi seperti “Ayo bangun.”, “Ayo berangkat shalat ke masjid.”, “Ayo ngaji.”, dan sebagainya, sebenarnya sudah tak perlu dilakukan. Semakin dewasa, seharusnya mereka semakin berpikir dan tersadar akan pentingnya hal tersebut secara sendirinya.
Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi. Nalar dan jiwa mereka telah dirasuki beban berat bernama kemalasan. Beban tersebut mengakar dan tersebar hingga menjadi sebuah tradisi negatif yang baru.
Bayangkan, ada seseorang yang menyandang titel sebagai santri, tapi ia tidak melakukan kewajiban agama. Padahal, hal tersebut seharusnya dilakukan tidak hanya oleh para santri, tapi juga seluruh umat muslim.
Maka, tak heran apabila kredibilitasnya sebagai seorang santri akan dipertanyakan. Bahkan, umat yang awam bisa jadi menyalahkan pesantren beserta pengasuhnya karena dianggap gagal mendidik. Padahal, kesalahannya terletak pada santri sendiri.