Alternatif Perspektif tentang Peran Santri dalam Era Smart Society 5.0
Oleh : M. Guntur Kurniawan
Posisi Santri dalam Kehidupan Bermasyarakat
Rohmat, anak dari tetangga saya, yang baru menyelesaikan pendidikannya di salah satu pesantren di Jombang, pulang kampung. Saya sering bertemu lalu sekadar ngobrol dengan Rohmat, salah satunya ya di langgar tempat kami, warga kampung, salat. Mengetahui kepulangan Rohmat, sontak pengurus langgar mengganti susunan imam salat jamaah. Yang tadinya penuh dengan nama-nama tua, kini terselip satu anak muda lulusan pesantren, Rohmat. Toni, rekan kerja saya, yang punya latar belakang pendidikan pesantren, selalu jadi jujukan untuk meminta nasihat yang sifatnya keagamaan. Mulai dari persoalan hukum Islam, ekonomi, sampai aturan waris. Toni selalu mampu menjawab pertanyaan sekaligus memberi nasihat berdasarkan napas Quran dan hadis.
Pada tataran yang lebih tinggi, di birokrasi misalnya, saat ini, terutama di Jawa Timur, banyak sekali santri yang menduduki jabatan strategis. Paling tidak ada Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur), Gus Muhdlor (Bupati Sidoarjo), Gus Yani (Bupati Gresik), sampai Gus Ipul (Walikota Pasuruan). Di luar nama-nama tersebut sebenarnya masih banyak santri yang kini berkontribusi dalam pemerintahan. Bahkan, yang sering dilupakan orang, Wakil Presiden Indonesia saat ini (K.H. Ma’ruf Amin) adalah juga seorang santri. Bukan hanya santri, beliau termasuk Kiai berpengaruh yang disegani baik di Indonesia maupun mancanegara. Tentu jika membahas ihwal ini, tidak afdhal rasanya jika tidak menyebut Gus Dur. Semua tahu, Presiden Indonesia ke-4 itu adalah santri. Salah satu santri terbaik yang pernah dilahirkan Indonesia.
Begitu pentingnya peran dan posisi santri di Indonesia. Namun, saya mencoba menyodorkan perspektif lain. Sebuah alternatif pandangan mengenai ‘bagaimana seharusnya santri berkontribusi dalam masyarakat?’
Meneladani Rasulullah SAW, Meski Hanya Satu Hadis
Dalam salah satu sesi daringnya, Habib Ja’far, menukil kisah dialog antara
Allah SWT dengan Nabi Musa a.s. Nabi Musa bertanya mengenai ibadah apa yang paling Allah senangi (selain salat)? Allah menjawab, “Memasukkan rasa bahagia ke dalam diri orang yang hancur hatinya”. Dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW juga pernah ngendikan bahwa ibadah yang paling utama adalah memasukkan rasa bahagia ke dalam hati orang yang beriman (H.R. Thabrani). Bisa ditarik benang merah bahwa membahagiakan orang lain adalah ibadah yang sangat disukai Allah SWT dan besar pahalanya.
Maka, sebagai bagian dari kelompok masyarakat, santri harus bisa mengejawantahkan dialog Nabi Musa a.s. dan hadis Rasulullah SAW tersebut. Ada ribuan hadis Rasulullah SAW, yang hampir musykil diterapkan semuanya. Hadis tentang membahagiakan orang lain tersebut adalah salah satu hadis yang relatif mudah dilaksanakan. Tentu dengan ketaatan, ketakwaan, dan konsistensi perbuatan (istiqamah).
Membentuk Ekosistem Interaksi yang Menyenangkan
Sebagai santri, apa yang bisa dilakukan dalam usaha ‘memasukkan rasa bahagia ke dalam hati orang lain’? Secara umum adalah seperti judul subbab ini: membentuk ekosistem interaksi yang menyenangkan. Jamak kita ketahui, dewasa ini muncul banyak pendakwah yang menyebarkan ketakutan. Ceramah dan khutbahnya selalu berbicara tentang siksa kubur, neraka, perang, dosa, hukuman di dunia, dan sebagainya. Sebagai pengingat, tentu tema-tema tersebut tidak ada salahnya. Namun jika narasinya selalu dijejalkan kepada masyarakat setiap waktu, di mana saja, dalam forum apa pun, maka nuansa yang muncul adalah bahwa agama itu sesuatu yang mencekam.
Dewasa ini juga mulai muncul kelompok-kelompok ‘pengapling tanah surga’. Kelompok ini selalu mencari celah dan salahnya kelompok lain. Bahwa segala hal dalam kelompok mereka adalah benar, sementara hal yang lain, yang bukan berasal dari kelompok mereka, adalah salah. Kelompok yang sangat mudah memberikan label. Si fulan ahli surga, sementara si fulan yang lain adalah penghuni neraka. Kelompok yang terbiasa mengharamkan segala sesuatu yang menurut mereka salah. Padahal kita tahu, salah menurut manusia belum tentu salah menurut Allah SWT, begitupun sebaliknya.
Apakah santri diam saja melihat fenomena tersebut di atas? Jawabannya tentu tidak. Jika ghirah santri masih membara di dalam dada, semestinya ada aksi nyata untuk melawan itu semua. Santri harus menjadi distributor kebahagiaan. Agen yang menghadirkan rasa bahagia di tengah masyarakat. Dalam bentuk apa pun.
Ilmu-ilmu yang didapatkan dalam pesantren, disebarluaskan dengan cara yang santun, ramah, dan tidak menghakimi. Jika santri diberi amanah menduduki posisi strategis, ia harus mampu membuktikan kepantasan dan kualitasnya. Jika ada santri yang dipercaya menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat, pesan tersebut haruslah pesan yang sejuk, damai, dan menenangkan. Santri harus merangkul, bukan memukul. Santri wajib mengayomi, bukan memusuhi. Santri harus bisa membungkus pesan-pesan Islam dalam kemasan yang menyenangkan. Tidak ada unsur labelling, penghakiman, dan menakut-nakuti.
Jika Anda bertanya, mengapa itu semua harus dibebankan kepada santri? Ketahuilah, bagi santri sebenar-benar santri, itu semua bukanlah beban. Melainkan amanah yang nempel kulit begitu seseorang memutuskan untuk belajar di pesantren dan lalu menjadi santri. Visi ekosistem interaksi yang menyenangkan harus diimbangi dengan misi-misi yang mumpuni. Misi yang punya daya pengaruh luas. Misi yang aplikatif dan implementatif.
Mission I’m Possible
Zaman membuktikan bahwa selalu ada tantangan bagi siapa pun yang ingin menegakkan kebenaran. Dan sejarah mencatat, kebenaran akan selalu menang, pada akhirnya. Sebagai elemen masyarakat yang memikul tanggung jawab berat di pundaknya, santri harus mahfum bahwa ia berada di posisi yang benar. Bahwa santri sudah berada pada jalur yang tepat. Itu adalah modal pertama sebagai agen penyemai kebahagiaan.
Begitu di tengah jalan ada kelompok-kelompok yang berseberangan, posisi santri tidak akan goyah. Ia akan jadi tameng bagi agama, bangsa, dan negara dari semua hal yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Kebenaran postulat memang hanya ada pada Tuhan, tetapi santri tetap harus percaya diri. Ia dididik dalam iklim pendidikan Islam yang sanadnya tersambung sampai Rasulullah SAW. Ia diajar oleh para kiai, gus, dan dewan asatidz yang ilmu agamanya luar biasa mumpuni. Ia dijaga oleh sistem pendidikan pesantren yang memungkinkan pengaruh buruk enggan mampir. Jika pada saatnya santri terjun ke masyarakat, ia wajib menjadi pembeda, dalam artian positif. Di keluarga bisa memosisikan diri sebagai anggota yang baik dan paham prinsip-prinsip silaturahim. Di tempat kerja bisa menjadi role model bagaimana pekerja dengan etos berkualitas. Di masyarakat bisa menjadi mata air yang mengalirkan kesejukan, kegembiraan, dan ketenangan. Misi yang berat, tetapi bukan berarti tidak mungkin.
Sejak kata pertama dalam tulisan ini saya ketik, saya sadar, bahwa posisi saya adalah ‘orang luar’. Saya bukan santri. Keterlibatan saya dalam dunia santri pun hanya sebatas pernah lima tahun mengajar di unit pendidikan salah satu pondok pesantren di Sidoarjo, Jawa Timur. Jadi, jika ada santri yang membaca tulisan ini, semoga alternatif perspektif saya dimaknai sebagai sebuah harapan. Harapan yang, saya tahu pasti, suatu saat akan menjadi kenyataan. Semoga.
Sidoarjo, 31 Oktober 2023
JUARA III – Artikel ini merupakan Pemenang dalam Kompetisi Semarak Hari Santri Nasional oleh Progresif Digital Media