Home Opini RA Kartini juga seorang Santriwati

RA Kartini juga seorang Santriwati

by Aqila Nur Rahmalia
freepik/Kartini

PROGRESIF EDITORIAL – RA Kartini merupakan tokoh perempuan yang paling dikenal di Indonesia sebagai salah satu pelopor pergerakan perempuan. Hari Kartini pada setiap 21 April bahkan serentak menjadi perayaan dengan aneka karnaval diiringi dengan penggunaan baju adat daerah. Namun ada potongan sejarah yang belum banyak diketahui, dimana seorang Kartini sangat memegang teguh nilai – nilai keislaman yang memperkuat pemikirannya.

Kartini ternyata berguru kepada Mbah Sholeh, dilansir dari beberapa sumber disebutkan bahwa salah satu guru Kartini adalah KH Muhammad Sholeh bin Umar (Mbah Sholeh Darat). Sosok RA Kartini juga terlihat telah memiliki ketertarikan mendalam dengan Islam yang nampak dari beberapa surat – suratnya. Adapun inilah beberapa catatan yang menjelaskan bagaimana keterikatan sosok RA Kartini dengan konteks pendalaman bergamanya.

  1. KH Imam Taufiq, pengampu pengajian rutin Kitab Mbah Sholeh Darat di Masjid Agung Kauman Johar Semarang, menyebutkan bahwa Kartini punya hubungan guru-murid dengan Mbah Sholeh Darat.
  2. Amirul Ulum, santri Mbah Maimun Zubair, menulis bab khusus “Islam, Agama Kartini” yang juga membahas “Hadiah Tafsir Pegon untuk Kartini” selain itu beliau juga menceritakan kisah pertemuan dan diskusi kyai-santriwati (Mbah Sholeh Darat – RA Kartini)
  3. Kisah yang sama juga diceritakan dalam buku Imron Rosyadi “RA Kartini, Biografi Singkat 1879–1904” dimana dijelaskan bahwa Mbah Sholeh Darat mempengaruhi perkembangan spiritualitas Kartini.
  4. Dua buku biografi yang ditulis untuk memperingati Haul Mbah Sholeh Darat juga membahas pertemuan dan hubungan Kartini dengan Mbah Sholeh Darat. Buku pertama, yang ditulis oleh Abdullah Salim pada 1982, Buku kedua ditulis oleh Gus Agus Taufiq (menyamarkan namanya dengan Abu Malikus Salih Dzahir) dan Gus Mohammad Ichwan. Kedua buku ini cukup jelas menyebut adanya persinggungan Mbah Sholeh dengan Kartini, serta begaimana proses dialektika berlangsung diantara keduanya.

Menariknya, jauh sebelum ini semua, beberapa surat RA Kartini ditulis menggunakan huruf arab pegon. Seperti yang telah banyak diketahui arab pegon umum di gunakan dalam tradisi pesantren;

Baca Juga:  Hakikat al-Jama’ah dalam Aswaja

Dan saya ingin lagi, senantiasa ingin lagi… Saya tidak mau lagi belajar membaca Al-Qur’an, belajar menghafal amsal dalam bahasa asing, yang tidak saya ketahui artinya. Dan boleh jadi, guru-guru saya, laki-laki dan perempuan juga tidak mengerti. Beritahu saya artinya dan saya akan mau belajar semua. Saya berdosa, kitab yang suci mulia itu terlalu suci untuk diterangkan artinya kepada kami”

Penggalan surat lain, RA Kartini bertuliskan; “Tahun berganti tahun, kami namanya orang Muslim, karena kami turunan orang Muslim. Dan Kami namanya saja Muslim, lebih daripada itu tidak. Tuhan, Allah, bagi kami hanya semata-mata kata seruan. 

Dari penggalan – penggalan surat ini, serta catatan lampau, dapat kita pahami sebagai putri bangsawan, Kartini memperkuat dirinya dengan mengaji dan belajar agama. Selain itu, seperti yang disebutkan oleh beberapa penulis buku diatas, dialog mengenai agama Islam yang digambarkan Kartini dalam Al-Qur’an berasal dari Mbah Sholeh Darat. Pertemuan Kartini dengan Mbah Sholeh Darat dilakukan lebih dari satu kali pengajian. Rumornya, Kartini selalu hadir di kelas Mbah Sholeh Darat di Demak, Kudus, dan Jepara, meskipun masih ada perbedaan pendapat tentang kapan hal itu terjadi.

Kartini mengaku pada awalnya hampa saat belajar Al-Qur’an karena ia hanya belajar mengeja dan membaca, sementara isi kandungannya jarang diajarkan sehingga tidak mudah diserap. Ia mengibaratkan bahwa jika orang Islam belajar Al-Qur’an dengan model pembelajaran ini, mereka tidak akan mengetahui mutiara hikmah yang terkandung di dalamnya. Kartini dengan pemikiran progresifnya sangat berani mengkritik sistem pembelajaran agama pada era abad 19 itu yang dianggap kurang mencerdaskan umat. Ironisnya mungkin hingga saat ini sebagian dari kita masih merasakan adanya fenomena pendidikan agama semacam ini.

Kartini bukan sekedar sosok perempuan yang berani mengutarakan pemikiran terutama pada konstruksi peran perempuan lebih dari itu Ia juga memperdalam kajian keilmuan agama untuk memperkuat pesan kritiknya. Menarik, bahwa konteks keislaman yang Ia dapatkan dari Gurunya dibagikan secara rinci kepada para sahabat penanya di berbagai negara. Tentu saja hal ini melegitimasi adanya tradisi ketuhanan yang telah mengakar di kehidupan bangsa Indonesia bahkan jauh sebelum masa kemerdekaan.

Baca Juga:  Santri dan Hakikat Toleransi

Referensi : Kartini Santri Kesayangan Mbah Sholer Darat oleh Dr. M. Rikza Chamami, MSi (Dosen UIN Walisongo Semarang) Tahun 2016

Related Posts

Leave a Comment