Surabaya sejak dulu dikenal sebagai metropolitan yang tak pernah tidur. Setiap detiknya, sorot lampu seakan terus menyinari Kota Pahlawan tersebut. Hingar-bingar kota tak selamanya menyenangkan hati penduduknya. Beberapa dari mereka membutuhkan ketenangan batin dan pertolongan Allah.
Keagungan Surabaya diimbangi dengan hadirnya beragam ulama di seluruh penjurunya. Mulai dari KH. Mas Muhammad Nur Muhibbin di barat, KH. Miftachul Achyar AG. di timur, Keluarga Ndresmo di selatan, hingga KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi di utara.
KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi adalah ulama kebanggaan umat di utara Surabaya. Kecerdasan dan kesabarannya dalam menghadapi kerasnya wilayah pesisir membuatnya dikagumi para ulama di penjuru Indonesia.
KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi lahir di Surabaya pada April 1916 dari pasangan KH. Muhammad Nadi dan Hj. Surati. Silsilah ayahnya bersambung pada Sunan Gunung Jati, sedangkan ibunya bersambung pada Sunan Giri. Nama al-Ishaqi diberikan pada ibunya sebagai tabarukan (mencari berkah) pada as-Sayyid Maulana Muhammad Ishaq bin Junaid al-Jilani, kakek Sunan Giri.
Sejak belia, KH. Utsman belajar pada sejumlah ulama nasional maupun internasional. Guru pertamanya adalah KH. R. Muhammad Khozin Khoiruddin di Siwalanpanji, lalu ia juga berguru kepada KH. R. Muhammad Munir Abdurrahman (Bangkalan), KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (Tebuireng), dan KH. Muhammad Romly Tamim (Bangkalan/Peterongan).
KH. Utsman menjadi murid kesayangan KH. Romly. Ketika gurunya merasa akan berpulang, KH. Utsman diangkat menjadi al-Mursyid ath-Thariqah al-Qadiriyah wa an-Naqsyabandiyah. Sejak itu, KH. Utsman menyebarkan kedua aliran tasawuf tersebut di Surabaya.