Kepemimpinan Abd al-Malik ditandai berbagai pemberontakan akibat Peristiwa Karbala. Namun, Abd al-Malik berhasil menumpas pemberontakan tersebut walaupun harus membunuh beberapa tokoh utama Islam seperti Mukhtar bin Ubaid ats-Tsaqafi dan keluarga Zubair bin Awwam.
Di masa Abd al-Malik, pengaruh Islam sangat berkembang. Keberanian yang dipancarkan oleh kepemimpinannya menggentarkan para lawannya. Hal itu tergambar dari kemenangan pasukan Islam di Suriah—benteng timur Bizantium—dan Khurasan. Umayyah tumbuh menjadi kekhalifahan yang menakutkan. Kelak, Andalusia—benteng barat Romawi—akan ditaklukkan oleh semangat tersebut.
Sayangnya, Abd al-Malik juga melakukan banyak kolusi dan sentralisasi. Ia menyerahkan seluruh posisi penting kepada keluarganya. Selain itu, ia juga mewajibkan penggunaan Bahasa Arab pada kehidupan sehari-hari. Padahal, benteng terluar Umayyah terdiri dari berbagai suku yang jauh dari budaya Arab seperti Kurdi, Persia, Baloch, dan Berber.
Suatu hari, Abd al-Malik bermimpi bahwa ketika ia kencing, air kencingnya bercabang 4. Ketika ia menanyakan kepada ahli tafsir mimpi, ahli tersebut menjawab bahwa 4 putranya akan menjadi khalifah. Benar saja, setelah kematian Abd al-Malik, 4 putranya—Walid, Sulaiman, Yazid, Hisyam—menjabat sebagai khalifah.
Abd al-Malik meninggal di Damaskus pada Syawal tahun 86 Hijriyah dan dimakamkan di sana. Setelah kematiannya, Abd al-Aziz yang seharusnya menggantikannya juga turut menyusul sang kayak. Akhirnya, 4 putra Abd al-Malik—ditambah Umar bin Abd al-Aziz—secara bergantian menjabat sebagai khalifah selama 40 tahun ke depan.