Islam merupakan agama yang telah mengatur dari hal kecil seperti sikap saat batuk, bersendawa, maupun buang air kecil dna besar. Akan tetapi masih banyak orang yang kurang mengetahui hal tersebut, betapa Islam tengah mengatur seluruh aspek kehidupan kita.
Salah satu adab yang telah diatur dalam Islam adalah bagaimana adab kencing. Bagaimana hukumnya kencing berdiri? Bukankah dengan berdiri di depan uriner, percikan najis dapat menyentuh pakaian?
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلَّا جَالِسًا
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha beliau berkata, ‘Barangsiapa yang berkata bahwa Rasulullah kencing dengan berdiri, maka jangan kalian benarkan. Rasulullah tidak pernah kencing kecuali dengan duduk’.” (HR. An-Nasa’i)
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قَائِمًا “
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing dengan berdiri,” (HR Baihaqi)
Kencing berdiri di oleh para ulama dihukumi sebagai hal yang makhruh, selam tidak ada udzur (kendala). Hukum kencing berdiri yang makhruh ini akan lebur ketika pelakunya memiliki udzur seperti sakityang menyebabkan dirinya terasa berat (mayaqqah) ketika kencing duduk dilakukan.
Perincian hukum demikian, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairami:
ويكره أن يبول قائما من غير عذر لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال : ما بلت قائما منذ أسلمت ، ولا يكره ذلك للعذر لما روى {النبي صلى الله عليه وسلم أتى سباطة قوم فبال قائما لعذر} ـ
“Makruh kencing dengan berdiri tanpa adanya uzur, hal ini berdasarkan perkataan Sahabat Umar radliyallahu ‘anhu: ‘Aku tidak pernah kencing dengan berdiri sejak aku masuk Islam’. Namun kencing dengan berdiri tidak dimakruhkan tatkala terdapat uzur, berdasarkan hadits ‘Nabi Muhammad mendatangi tempat pembuangan kotoran (milik) sekelompok kaum, lalu kencing dengan berdiri karena adanya uzur,” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 2, hal. 158).
Hadist tersebut seakan kontradiktif dengan hadist Aisyah yang disebutkan di awal. Dalam menyikapi hal ini, tidak ada penjelasan yang lebih tegas dari apa yang disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam karya monumentalnya, Fath al-Bari:
والصواب أنه غير منسوخ والجواب عن حديث عائشة أنه مستند إلى علمها فيحمل على ما وقع منه في البيوت وأما في غير البيوت فلم تطلع هي عليه “
Hal yang benar bahwa kedua hadits yang kontradiktif di atas tidaklah di-naskh (tidak diberlakukan salah satunya). Dalam menjawab hadits ‘Aisyah, bahwa beliau melandaskan perkataannya berdasarkan pengetahuan beliau semata (tentang cara kencing Rasulullah SAW). Maka hadits ‘Aisyah diarahkan atas apa yang terjadi di rumah, adapun di selain rumah, Sayyidah ‘Aisyah tidak mengetahui secara pasti,” (Ibnu Hajar al-Haitami, Fath al-Bari, juz 1, hal. 330).