Home Seputar Islam Ternyata Lembaran Ini Juga Harus Dipegang Dalam Keadaan Suci!

Ternyata Lembaran Ini Juga Harus Dipegang Dalam Keadaan Suci!

by Arundaya Maulana
Hukum menyentuh mushaf/Freepik

PROGRESIF EDITORIAL – Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk bagaimana umat Muslim berinteraksi dengan Al-Qur’an. Salah satu hukum fiqih sederhana, namun sering kali diabaikan, adalah larangan menyentuh mushaf tanpa wudhu. Meskipun tampak sepele, aturan ini memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an, hadis, dan pendapat mayoritas ulama.

Mayoritas ulama bersepakat bahwa menyentuh mushaf tanpa wudhu adalah haram. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT:

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”
(QS. Al-Waqi’ah: 79)

Ayat ini dipahami oleh sebagian besar ulama sebagai larangan bagi orang yang berhadas untuk menyentuh mushaf. Pemahaman ini diperkuat dengan hadis Rasulullah SAW:

“Janganlah menyentuh Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci.”
(HR. Malik dalam Al-Muwaththa’, no. 468)

Hadis ini menjadi dalil utama yang digunakan oleh Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad untuk menetapkan bahwa suci dari hadas kecil maupun besar adalah syarat bagi seseorang yang ingin menyentuh mushaf.

Namun, para ulama memberikan keringanan bagi seseorang yang hanya membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, misalnya melalui hafalan atau teknologi digital seperti aplikasi Al-Qur’an di ponsel, yang menurut sebagian besar ulama tidak mengharuskan wudhu.

Kisah Inspiratif tentang Kepatuhan

Dikisahkan bahwa sebelum Umar bin Khattab memeluk Islam, ia pernah mengunjungi rumah adiknya, Fatimah binti Khattab, yang saat itu telah memeluk Islam secara diam-diam. Umar mendengar adiknya membaca ayat-ayat Al-Qur’an dari lembaran yang disebut shuhuf. Penasaran, Umar meminta Fatimah untuk memperlihatkan lembaran tersebut kepadanya.

Fatimah dengan tegas menjawab, “Engkau tidak boleh menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci.”

Mendengar itu, Umar segera membersihkan dirinya terlebih dahulu sebelum membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Kisah ini menjadi salah satu bukti bagaimana rasa hormat terhadap mushaf telah diterapkan sejak masa awal Islam. Bahkan, momen ini menjadi titik awal hidayah bagi Umar untuk memeluk Islam dan menjadi salah satu sahabat Nabi yang paling berpengaruh.

Aturan ini memiliki hikmah yang mendalam. Pertama, menyentuh mushaf dengan berwudhu mencerminkan penghormatan kepada Al-Qur’an sebagai firman Allah yang suci. Kedua, ini adalah bentuk ibadah yang mendekatkan seorang Muslim kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
(QS. Al-Baqarah: 222)

Ketiga, menjaga kesucian fisik dan spiritual saat berinteraksi dengan Al-Qur’an membantu kita meningkatkan rasa khusyuk dan kedekatan dengan Allah SWT.

Dalam kehidupan modern, sering kali kita lupa atau menganggap sepele hukum ini. Banyak yang menyentuh mushaf tanpa wudhu karena kurangnya pemahaman. Oleh karena itu, penting untuk terus mengedukasi diri dan orang lain tentang adab-adab terhadap Al-Qur’an.

Adab ini bukan hanya menunjukkan penghormatan, tetapi juga menjadi pengingat bahwa interaksi kita dengan Al-Qur’an bukanlah aktivitas biasa. Ia adalah bentuk ibadah yang memerlukan kesadaran penuh dan penghormatan mendalam.

Dengan menjaga aturan ini, kita dapat membangun hubungan yang lebih dekat dengan Allah SWT dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, bukan sekadar kitab suci yang disimpan di rak buku. Mari kita jadikan momen membaca dan menyentuh Al-Qur’an sebagai salah satu ibadah yang penuh kesungguhan dan cinta kepada Allah.

Bagaimana jika darurat dalam keadaan tidak bisa bersuci atau mushaf jatuh di tanah?

Dalam situasi darurat, Islam memberikan kelonggaran sesuai dengan prinsip “laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, QS. Al-Baqarah: 286). Hal ini mencakup keadaan ketika seseorang tidak bisa bersuci atau ketika mushaf jatuh ke tanah. Berikut adalah penjelasan hukum fiqih terkait:

1. Dalam Keadaan Tidak Bisa Bersuci

Jika seseorang tidak dapat bersuci, baik karena ketiadaan air untuk wudhu atau tayamum, atau dalam situasi darurat seperti sakit, maka diperbolehkan menyentuh mushaf dengan syarat darurat. Prinsip ini didasarkan pada kaidah fiqih:

“Ad-darurat tubihul mahzurat”
(Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang.)

Contoh situasi darurat adalah:

  • Seseorang harus membaca atau menyentuh mushaf untuk menyelamatkan diri, seperti menghafal ayat tertentu untuk melindungi diri dari bahaya.
  • Dalam konteks pembelajaran, jika tidak ada alternatif lain untuk mengakses Al-Qur’an.

Namun, jika memungkinkan, seseorang dapat menggunakan penghalang seperti kain atau sarung tangan saat menyentuh mushaf untuk tetap menghormati kesuciannya.

Related Posts

Leave a Comment

[elementor-template id="2865"]