Home Ragam Sejarah Penamaan Hari yang Tujuh

Sejarah Penamaan Hari yang Tujuh

by Syarif Abdurrahman
Sejarah Penamaan Hari yang Tujuh

PROGRESIF EDITORIAL – Sejarah penamaan hari yang tujuh menurut Nurcholish Madjid dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban (sebuah telaah kritis tentang keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan) saat era kaitannya dengan mitologi.

Setelah pendeta kawasan Mesopotamia kuno mengetahui benda-benda langit maka timbul menyembah benda-benda langit. Dari sana pula timbul konsep hari tujuh, sebagai akibat praktik menyembah satu tuhan satu hari.

Nama-nama hari yang tujuh dikaitkan dengan nama-nama “tuhan” atau “dewa” yang ada di langit seperti hari matahari, hari rembulan, hari Mars, hari Merkurius, hari Jupiter, hari Venus, dan hari Saturnus.

Selanjutnya, karena dari semua benda langit itu matahari adalah yang paling mengesankan (sebagai apa yang disebut oleh Rudolph Otto dalam sosiologi agama memiliki unsur-unsur mysterium tre-mendum et fascinans yang paling utama), maka timbul pula kepercayaan yang hampir universal bahwa matahari merupakan dewa tertinggi atau utama, dengan bermacam-macam sebutan seperti Ra, Zeus, Indra, dan seterusnya.

Di kalangan bangsa-bangsa Semit juga terdapat praktik pemujaan matahari sebagai dewa Syamas atau Syams, sehingga ada seorang tokoh suku Quraisy di Makkah sebe- lum Islam yang bernama Abdu-Syams (Hamba Dewa Matahari).

Oleh karena itu, dalam bahasa Portugis dan Spanyol, hari pertama. yaitu “Hari Matahari”, disebut “Hari Tuhan” (Domingo, yang mem beri kita nama “Hari Minggu yang sebenarnya redundant, karena “minggu sendiri sudah berarti “hari”). Semuanya itu dengan jelas menunjukkan adanya sisa-sisa praktik penyembahan matahari.

Jadi hari yang tujuh itu adalah suatu sisa dari praktik kekafir an, syirik, atau paganisme. Tetapi mengapa kita sekarang meng gunakannya tanpa halangan apapun? Apakah tidak berarti bahwa kita mendukung suatu paham yang jelas-jelas keliru dan menyesat- kan? Padahal mendukung kesesatan berarti ikut menanggung “dosa” kesesatan itu sendiri!

Dari persoalan hari yang tujuh itu dapat diperoleh gambaran yang relevan sekali untuk persoalan kita sekarang ini. Penggunaan hari yang tujuh bekas kekafiran itu oleh bangsa-bangsa seluruh dunia, termasuk bangsa-bangsa Muslim, tidak lagi mengandung perso alan dan sepenuhnya dapat diterima atau dibenarkan, karena konsep hari yang tujuh itu telah terlebih dahulu mengalami proses demikian.

Baca Juga:  Menyoal Urgensi Dakwah Ekologi bagi Umat Islam

Hari ketujuh dinamakan Sabtu, karena menurut Genesis dalam Kitab Perjanjian Lama, pada hari itu Tuhan telah rampung men- ciptakan alam raya seisinya, kemudian “istirahat toral”. Karena itu, manusia pun, sepanjang ajaran Perjanjian Lama, harus istirahat total pula, sebagaimana sekarang ini dipraktikkan oleh kaum Yahudi.

Karena itu dalam konsep hari “Sabar” menurut agama Yahudi itu sebenarnya masih terkandung unsur mitologi. Kaum Yahudi fun damentalis benar-benar percaya bahwa pada hari itu Tuhan istirahat total, sehingga mereka pun istirahat total, sampai-sampai banyak dari mereka yang bahkan menghidupkan televisi pun tidak mau dan harus meminta orang lain yang bukan Yahudi untuk melakukannya!

Dari tradisi Arab, nama “Sabtu” untuk hari ketujuh tetap berta- han dalam Islam. Namun, sesuai dengan penegasan dalam al-Qur’an (Q 16:124), nama itu tidak lagi mengandung nilai kesakralan da- lam Islam. Apalagi jika diingat bahwa kata-kata Ibrani “syabat” juga boleh jadi sekadar cognate kata-kata Arab “sab’ah” atau “sab’at-un”, sebagaimana ia juga boleh juga sekadar cognate kata-kata Indo-Eropa “sapta”, “sieben”, “seven”, “sept”, dan seterusnya, yang semuanya ber- arti “tujuh”.

Agama Kristen, setelah melewati perjalanan pertumbuhan yang cukup panjang, meninggalkan konsep hari “Sabar” dan mengganti hari sucinya ke hari Ahad, hari pertama. Telah kita ketahui bahwa hari pertama ini adalah bekas “Hari Matahari” (Inggris: Sunday). Juga telah kita bicarakan, bahwa karena matahari adalah benda la- ngit yang paling hebat, maka tumbuh kultus kepadanya sebagai dewa utama, sehingga hari itu pun juga dinamakan “Hari Tuhan” atau “Do-Mingo”.

Maka banyak kalangan sarjana Kristologi yang berpendapat bahwa pengalihan hari suci Kristen (yang tumbuh dari tradisi Yahudi) dari Sabtu ke Minggu masih mengandung unsur sisa kultus kepada matahari. Jadi proses demitologisasi oleh agama (mo noteis) Yahudi dan (trinitarianis) Kristen terhadap konsep hari yang tujuh sebagai sisa kekafiran itu belum runtas.

Yang menuntaskan proses demitologisasi hari yang tujuh itu ialah Islam, dengan menjadikan hari sucinya hari keenam dan dinamakan “Hari Berkumpul” (Yawm al-Jumu’ah), yakni hari kaum Muslimin berkumpul di masjid untuk menunaikan sembahyang tengah hari dalam jama’ah Cara penamaan hari itu sebagai “Hari Berkumpul”, berbeda dari cara penamaan “Sabtu” dan “Domingo”, menunjukkan orientasi yang lebih praktis, fungsional dan bebas dari mitologi.

Baca Juga:  6 Manfaat Buah Tin, Buah yang dijadikan Nama Salah satu ayat Al-qur’an

Apalagi Islam pun tidak mangajarkan bahwa hari Jum’at adalah hari istirahat. Yang ada ialah ajaran bahwa pada saat adzan sembahyang Jum’at dikumandangkan, kaum Muslim hendaknya meninggalkan pekerjaan masing-masing dan bergegas menuju tempat sembahyang untuk bersama-sama mengingat Tuhan. Namun setelah selesai de- ngan sembahyang itu hendaknya mereka “menyebar di bumi dan mencari kemurahan Tuhan”, yakni kembali bekerja mencari nafkah (Q 62:9-10).

Related Posts

Leave a Comment