Home Seputar Islam Hukum Tidur di Masjid

Hukum Tidur di Masjid

by Mahalli Syarqowie

Masjid adalah rumah Allah SWT dan pintunya selalu terbuka untuk hambanya yang ingin beribadah kepadanya dan melaksanakan kewajibannya di dunia, yakni sholat, mengaji, dan menyiarkan syariat Islam. Selain itu, masjid juga dijadikan sebagai tempat berteduh dan tempat singgah bagi para musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh untuk beristirahat dan bermalam sementara. Tidur siang menurut Islam, bisa membantu kita untuk bangun di sepertiga malam dan melaksanakan shalat tahajjud yang merupakan shalat sunat yang dianjurkan dan disukai oleh Allah SWT.

Tapi, apakah boleh bagi kita untuk tidur di dalam masjid?
Dalam permasalahan ini, Syekh Sulaiman al-Jamal secara tegas telah menjelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ‘ala al-Manhaj sebagai berikut:

وَيَجُوزُ النَّوْمُ فِيهِ لِغَيْرِ الْجُنُبِ، وَلَوْ غَيْرَ أَعْزَبَ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ نَعَمْ إنْ ضَيَّقَ عَلَى الْمُصَلِّينَ أَوْ شَوَّشَ عَلَيْهِمْ حَرُمَ

“Dan boleh untuk tidur di masjid bagi selain orang yang junub, meskipun tidak lagi bujang, akan tetapi hukumnya makruh. Meskipun demikian, apabila tidur di masjid sampai berakibat mempersempit orang yang salat atau mengganggu mereka, maka hukumnya bisa haram.” (Lihat: Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala al-Manhaj, I/155)

Dengan demikian, para ulama Mazhab Syafi’i memperbolehkan seseorang untuk tidur di masjid, namun hukumnya makruh. Kebolehan ini tentunya dengan syarat tidak sampai mempersempit atau menganggu orang yang salat. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka dapat berkonsekuensi hukum haram.
Salah satu tradisi Ahlusunnah Wal Jama’ah adalah menjaga dan melestarikan sanad keilmuan antara murid dan guru. Sanad secara bahasa bisa diartikan tempat berpijak yang tinggi. Sedangakan dalam istilah ilmu hadist adalah informasi tentang silsilah matan hadist. Dinamakan sanad sebab ulama hadist sangat bergantung pada informasi tentang periwayat hadist yang terdapat dalam susunan sanad untuk menentukan sahih atau tidaknya hadist.

Ringkasnya, sanad sangat diperlukan untuk menentukan kevalidan sebuah informasi terutama informasi tentang ilmu agama.

Rasulullah Saw. berkata;
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Baca Juga:  Ternyata Pendidikan Islam Berkembang di Kota Ini, Lho!

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak sama dengan berdusta atas nama orang lain. Siapa saja yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka tempatilah tempat duduknya di neraka.”
Sehingga mengenai pentingnya sanad keilmuan antara murid dan guru Ibn Mubarok menegaskan:

الْإِسْنَادُ عِنْدِيْ مِنَ الدِّينِ لَوْلَا الإسْنَادَ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

“Sanad menurutku termasuk dari agama, andai tidak ada sanad pastilah orang akan mengatakan apapun yang ia kehendaki.”

Imam at-Turmudzi dalam al-Ilal as-Shoghir meriwayatkan dari Ibn Sirin;
كَانَ فِي الزَّمَنِ الْأَوَّلِ لَا يَسْأَلُوْنَ عَنِ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتْ الفِتْنَةُ سَأَلُوْا عَنِ الإسْنَادِ لِكَيْ يَأْخُذُوْا حَدِيثَ أَهْلِ السُّنَّة ِويَدْعُوا حَدِيْثَ أَهْلِ الْبِدَعِ

“Pada zaman awal agama islam orang tidak menanyakan perihal sanad. Kemudian setelah munculnya fitnah orang islam mulai menanyakan mengenai sanad, demikian supaya orang islam mengambil hadist ahli sunnah dan meninggalkan hadist ahli bidah.”

Imam ad-Darimi membuat perumpamaan bahwa orang yang belajar agama tanpa sanad bagaikan orang naik kelantai atas tanpa tangga. Sehingga sangat sulit untuk sampai pada tujuannya. Sampai disini sudah cukup kiranya untuk menegaskan betapa pentingnya sanad keilmuan

Related Posts

Leave a Comment