Sultan Mehmed II atau juga lebih dikenal dengan nama Sultan Muhammad Al Fatih (30 Maret 1432 – 3 Mei 1481) adalah Sultan yang memerintah di Dinasti Turki Utsmani. Sultan Muhammad Al Fatih lahir di Edirin pada 30 Maret 1423 M, di mana saat itu Edirin merupakan pusat kota pemerintahan Dinasti Turki Utsmani.
Ketika berusia 11 tahun, ia dikirim oleh sang ayah untuk memerintah Amasya sebagai gubernur. Hal ini sesuai dengan tradisi Kesultanan Utsmaniyah, di mana pangeran yang sudah cukup umur akan diutus untuk memerintah suatu wilayah sebagai bekalnya kelak menjadi sultan. Murad II juga mengirim banyak guru untuk mendidik Muhammad Al Fatih, salah satunya adalah Molla Gurani.
Pada Agustus 1444, setelah mengadakan perjanjian damai dengan sebuh wilayah, Murad II memilih turun takhta dan menyerahkan kepemimpinan kepada Muhammad Al Fatih. Muhammad Al Fatih pun naik takhta Kesultanan Turki Ottoman di usia 12 tahun. Karena usianya yang masih sangat muda, ia memerintah dengan banyak dibantu oleh perdana menteri dan orang-orang terdekatnya.
Pada masa awal kekuasaan, Kesultanan Utsmaniyah diserang oleh orang-orang Hongaria di bawah pimpinan John Hunyadi. Saat itu, pasukan Hongaria melanggar perjanjian dan menyerang Muhammad Al Fatih karena dipengaruhi oleh utusan Paus Martinus V, yaitu Kardinal Julian Cesarini.
Tidak siap menghadapi pasukan Hongaria, Muhammad Al Fatih memohon kepada ayahnya agar naik takhta kembali. Meski sempat menolak, Murad II kembali naik takhta pada 1446 dan memimpin hingga akhir hayatnya pada 1451.
Sepeninggal Murad II, Muhammad Al Fatih yang telah berusia 19 tahun, kembali memegang tampuk kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah. Pada masa pemerintahannya yang kedua, Muhammad Al Fatih bertekad untuk memperkuat angkatan laut Ottoman dan berusaha merebut Konstantinopel dari Kekaisaran Romawi Timur.
Keinginannya ini pun dapat terwujud hanya dalam waktu dua tahun. Pada awal 1453, ia mengerahkan 80.000-200.000 pasukan Ottoman, artileri, dan 320 kapal perang untuk mengepung Konstantinopel.
Pada awal April 1453, Muhammad Al Fatih menyerang Konstantinopel dan mengepungnya. Pengepungan berlangsung selama 53 hari, sampai akhirnya Konstantinopel jatuh pada 29 Mei 1453. Pihak Konstantinopel yang dipimpin oleh Kaisar Constantine XI sebenarnya mendapatkan bantuan dari para pembelot Ottoman dan Vatikan. Namun, mereka tetap tidak kuasa membendung kekuatan Muhammad Al Fatih dan pasukannya.
Setelah Konstantinopel jatuh, Muhammad Al Fatih mengerahkan pasukannya ke Provinsi Morea di Peloponnesos pada 1461. Penaklukkannya pun terus berlanjut hingga ke Serbia, Albania, hingga Crimea.
Setelah Konstantinopel jatuh, Muhammad Al Fatih mengerahkan pasukannya ke Provinsi Morea di Peloponnesos pada 1461. Penaklukkannya pun terus berlanjut hingga ke Serbia, Albania, hingga Crimea. Begitu pemerintahan terpusat terbentuk, Sultan Muhammad Al Fatih dengan hati-hati menunjuk para pejabat yang bisa membantu mewujudkan agendanya.
Sultan juga mendelegasikan wewenang dan fungsi pemerintahan yang besar kepada para pembesarnya sebagai bagian dari kebijakan agar pemerintahannya tidak terlalu absolut.
Di sisi lain, Muhammad Al Fatih juga memiliki banyak guru atau pembimbing yang berasal dari kalangan ulama, salah satu ulama berpengaruh kala itu, yang juga menjadi guru dan orang dekatnya adalah Syaikh Aaq Syamsuddin.
Selain terkenal sebagai jenderal perang dan berhasil memperluas kekuasaan Utsmani melebihi sultan-sultan lainnya, Sultan Muhammad Al Fatih juga dikenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki diwan, kumpulan syair yang ia buat sendiri.
Adapun Sultan Muhammad Al Fatih juga membangun lebih dari 300 masjid, 57 sekolah, dan 59 tempat pemandian di berbagai wilayah Utsmani. Dan, Peninggalannya yang paling terkenal adalah Masjid Sultan Muhammad II dan Jami’ Abu Ayyub al-Anshari.
Pada bulan Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad Al Fatih pergi dari Istanbul untuk berjihad, padahal ia sedang dalam kondisi tidak sehat. Di tengah perjalanan sakit yang ia derita kian parah dan semakin berat ia rasakan.
Dokter pun didatangkan untuk mengobatinya, namun dokter dan obat tidak lagi bermanfaat bagi sang Sultan, ia pun wafat di tengah pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4 Rabiul Awal 886 H/3 Mei 1481 M.
Sebelum wafat, Sultan Muhammad Al Fatih mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan Bayazid II agar senantiasa dekat dengan para ulama, berbuat adil, tidak tertipu dengan harta, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan kerajaan.
Wallahu A’lam Bishawb