Home Opini Santri dan Hakikat Toleransi

Santri dan Hakikat Toleransi

by Abdul Wahid Tamimi

25 Desember kemarin adalah hari sakral bagi umat Kristiani. Di hari tersebut, mereka merayakan kelahiran “Yesus”, pribadi yang mereka yakini sebagai putra Tuhan. Sebagai mayoritas, umat Islam—terutama santri—tentu harus menghargai sebagai bentuk toleransi. Namun, apakah kita, umat dan santri Rasulullah, telah mengamalkan toleransi sesuai kaidah?.

Rasulullah telah mengajarkan hakikat toleransi baik melalui sabda atau amalan. Dalam sebuah hadis, beliau menjelaskan tentang kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang tunduk pada perjanjian dengan muslim dan taat membayar upeti.

مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ 

“Barang siapa menyakiti seorang dzimmi, sungguh dia telah menyakitiku. Barang siapa yang telah menyakitiku, sungguh dia telah menyakiti Allah.”

Sayangnya, pengamalan toleransi di Indonesia tidak sesuai kaidah. Banyak sekali kasus pelecehan atau bahkan toleransi yang melampaui batas. Indonesia seolah dipecah oleh kaum yang diutus oknum yang ingin menghancurkan integritas bangsa.

Ide Islam Nusantara a la Walisongo yang dibangkitkan Nahdlatul Ulama untuk mengakomodasi toleransi ditentang oleh sebagian kelompok. Mereka menganggap ide tersebut merusak kesempurnaan agama. Bahkan, sebagian kelompok Hadhrami menginginkan kebangkitan kekhalifahan di Indonesia.

Padahal, ide tersebut berperan besar dalam masifnya penyebaran Islam di Indonesia. Islam Nusantara bukan memodifikasi syariat yang telah ditetapkan, tapi menyesuaikan kearifan lokal sesuai syariat. Dengan harmonisasi tersebut, kedua budaya dapat saling lestari tanpa memakan satu sama lain.

Di sisi lain, belakangan ini, saya dikejutkan dengan mahasiswa di salah satu Universitas Islam Negeri (UIN) yang berlebihan dalam toleransi. Mereka turut beribadah di gereja sebagaimana umat Kristiani. Allah telah menetapkan batas toleransi dalam firmannya

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Toleransi adalah memberi ruang antar agama untuk saling berinteraksi tanpa memengaruhi. Ayat yang telah disinggung di atas turun saat para kafir Quraisy menawarkan Rasulullah untuk menyinkretisasi agama sebagai bentuk toleransi. Namun, Rasulullah menolak setelah turunnya ayat tersebut.

Dari kedua hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa toleransi masih menjadi masalah utama di Indonesia. Bukan, bukan karena minimnya pengamalan, namun karena tak seimbang. Peran kita, umat dan santri Rasulullah, sangat dibutuhkan di sini.

Baca Juga:  Madura, Minang, dan Islam

Kita harus mengamalkan—atau bahkan mengajarkan—kaidah toleransi yang benar sesuai syariat. Jangan mentang-mentang demi toleransi, kita harus menggadaikan iman atau bahkan merusak tatanan negara yang telah disepakati para ulama ini.

Related Posts

Leave a Comment